Cari Blog Ini

21.12.15

THE COGANS - Part 4



                “Benar dugaanku. Aku mencurigai saat CCTVnya mati dalam waktu beberapa milisekon digunakan untuk memindahkan orang orang tertentu saja. Sementara yag lainnya mengejar Bagus. Tapi mungkinkah mereka keluar dari sana dengan hitungan milisekon?” ujar Reswara.
                “Tapi aku lihat mereka tidak secepat itu.” Ujarku.
                “Tapi kabar baiknya, aku menemukan sebuah blueprint.” Kata Raka.
                “Biar aku lihat.” Reswara mengambil dan membuka lebar-lebar kertas biru itu. Kami mengamatinya baik-baik.
                “Mereka berencana memperluas wilayah kekuasaan mereka dan membuat markas di tempat yang strategis.” Reswara memahami maksud yang tersembunyi dan mengartikannya untuk kami.
                “Mereka akan menyerang negara tetangga!” ujar Reswara.
                Setelah mendapat informasi yang cukup, termasuk tanggal penyerangan, Reswara memerintahkan kami supaya beristirahat lebih awal. Karena kami akan berangkat sebelum fajar tiba. Aku masih tidak bisa tidur. Sekarang jam 11:02 malam. Aku melihat samping kanan dan kiriku. Sultan dan Raka sedang tertidur lelap. Aku pergi ke dapur untuk mengambil minum. Tetapi, aku melihat ruangannya Reswara masih menyala. Aku mengintip ruangannya Reswara dan mendapati Reswara masih terjaga. Ia sedang mengerjakan sesuatu dengan laptop, printer, dan komputernya.
                “Kenapa kau masih belum tidur?” Reswara menyadari keberadaanku. Aku terkejut dan menjatuhkan gelas berisi air yang aku pegang.
                “Tidurlah, biar aku nanti yang bersihkan.” Ujar Reswara. Aku merasa bersalah sehingga aku segera membersihkan pecahan gelas itu. Reswara melempar bom kecil yang mengeluarkan gas yang membuatku mengantuk sehingga aku tertidur di tempat.
                Dimana ini? Aku didalam mimpi? Suara apa itu? Asalnya dari balik pintu ini.
                “Yah, tidak”
                “Ayolah, kau dan aku kan sahabat. Mari bekerjasama.”
                “Untuk apa?”
                “Aku muak disini, mari kita ciptakan gang baru! Hanya untuk kita berdua.”
                Ada suara memanggilku dari belakang.
                “Bangunlah.”
                “CEPAT BANGUN!!! KITA AKAN TERLAMBAT!!!” Kata Raka sambil memberikanku senjata api, lalu ia naik ke helikopter. Baling-baling helikopter sudah mulai berputar. Angin yang membawa debu dari dunia luar menerpaku. Aku pun segera bangkit, lalu berlari ke arah helikopter yang sudah tidak menyentuh tanah itu, dan naik ke dalamnya.
                “Hei tukang tidur, kau sulit dibangunkan setelah menghirup gasku.” Kata Reswara sambil memberikanku sebuah naskah. “Lakukan seperti yang ada di dalam naskah!” lanjutnya. Setelah membacanya, aku tahu kami akan pergi ke mana. Sebuah gedung yang berfungsi sebagai Trade Center, akan menjadi target SIGN-AI selanjutnya. Dan kami akan ada disana untuk mencegahnya. LETS DO IT!
                Seharusnya kami sudah sampai di tujuan. Tetapi kami mengalami banyak kendala, termasuk diantaranya badai yang tidak terduga-duga. Setelah badai reda, barulah Sultan menyadari bahwa ia kehilangan arah karena badai tersebut membuat radar helikopter tidak berfungsi sementara. Kami mencong 69o dari tujuan. Sultan kembali mengatur arah tujuan. Dalam beberapa menit, kami sampai di tujuan. Yang kami lihat pertama kali saat turun dari helikopter adalah penyerangan sudah dimulai.
                “Kita terlambat!” kata Sultan sambil menengok ke arahku. Terdengar secara samar-samar banyak teriakan orang-orang yang panik dari dalam sebuah gedung International Trade Center yang dibangun kembar berjejer itu.
                “Ayo cepat! Cepat! Cepat!” perintah Reswara sambil buru-buru. Sultan kembali mengudara. Kami berlari secara sembunyi-sembunyi menuju pintu belakang gedung itu. Sementara Raka mengikutiku dari belakang.
                “Lindungi aku!” kata Reswara sambil memasang alat seperti kamera mini di panel listrik utama gedung itu. Kami masih belum ketahuan karena para Sign-er menyerang bagian atap gedung terlebih dahulu baru kemudian serangan darat. Mereka menggunakan helikopter yang mirip dengan helikopternya Sultan, sehingga Sultan dapat dengan mudah membaur sambil membantu mencari Edsa.
                “Cepatlah.” Ujar Raka. Aku melihat salah seorang satpam yang juga memandangiku dengan pandangan yang aneh. Setelah aku lihat lebih teliti, iris matanya berwarna abu-abu. Raka langsung menyadarinya dan langsung menembaknya tepat di kepala. Tapi, perbuatan itu sepertinya membuat kawan-kawannya marah dan langsung mengepung kami.
                “Uh... bolehkah aku menembak?” tanyaku.
                “Kita belum menemukan penawarnya. Jadi, sekarang, TEMBAK!” ucap Raka. Kami pun menembak seperti pada game-game zombie pada umumnya. Para Sign-er tidak mau kalah, mereka pun juga menembaki kami. Terjadilah adu tembak yang lumayan seru.
                “99 persen!!! Seratus!!!” ujar Reswara.
                “Tidak ada tempat lari untuk sekarang. Masuk ke dalam gedung!” ujar Raka. Kami pun masuk dan mencari tempat untuk bersembunyi. “Ayo! Sembunyi dibawah sini!” Reswara memandu kami ke ruang bawah tanah. Kami buru-buru masuk ke dalam. Terdengar langkah kaki dan teriakan orang-orang yang panik ketakutan semakin jelas, dan jelas. Suara adu tembak dan perlawanan polisi setempat maupun pengunjung di sana juga terdengar sangat jelas.
                “Kenapa tidak berjalan sesuai rencana?” tanya Reswara dengan nada yang agak ditinggikan. Tiba-tiba terdengar banyak suara ledakan di luar. Seperti suara meteor atau pesawat jatuh. Lalu, Reswara menerima telepon.
                “Atap sudah klirrr. Tak jemput di helipad.” Itu suaranya Sultan. Tapi masalahnya, helipadnya terletak di atap gedung ini dan para Sign-er menyerang dari dua arah yang berbeda. Pada akhirnya mereka akan mencapai kami. Jadi kami memutuskan untuk menyerang daripada bertahan.
                Tiba-tiba, salah satu alat milik Reswara berdering. Lalu mengeluarkan suara seperti “APA! Pasukan kita dikalahkan semua!” “Tapi kita masih mempunyai ini”. Tiba-tiba suaranya menjadi serak lalu terputus sambungannya.
                “Sepertinya kita mendapatkannya.” Ujar Reswara.
                “Apa?”
                Lalu semuanya menjadi sunyi. Hanya tinggal suara langkah kaki misterius yang melangkah perlahan, menyisir seluruh lorong gedung satu per satu.
                “Ada yang datang!” kata Raka.
                “Kita harus melawan!” kata Reswara.
                “Mereka datang dari berbagai arah, kita harus berpencar!” lalu kami pun berpencar. Sudah tidak terdengar lagi suara Raka maupun Reswara. Aku berlari di sepanjang lorong sendirian. Namun, ada yang mencegatku. Orang itu berbadan tinggi, besar, memakai seragam satpam, dan membawa senapan api laras pendek. Ia mengacungkan pistolnya ke arahku. Begitu pula aku, aku mengeluarkan pistolku dan langsung menembak ke arahnya. Namun ia berhasil menghindar dan balik menembakku pada bagian bahu kanan dan kiriku, sehingga aku tidak bisa menarik pelatuk itu lagi.
                “Aku mendapatkannya.” orang itu berbicara kepada seseorang dengan walkie-talkie.
                “Bagus, bagus. Bawa dia ke hadapanku.”
                “Sedang kukerjakan. Ganti.” Orang asing itu mengeluarkan borgolnya. Aku masih memiliki kaki yang berfungsi. Aku menendangnya dengan keras. Lalu aku menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Rupanya, ia bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia mengejar dan berkali-kali menembak. Pada ujung lorong aku berbelok lalu belok lagi, berharap orang itu tidak bisa menemukanku. Tiba-tiba ada yang menarikku untuk merapat ke tembok.
                “Julia?”
                “Shht… hihihi.” Seketika itu juga listrik gedung padam sementara. Julia menghilang lagi. Setelah itu, aku mendengar suara orang tersiksa. Lalu listrik gedung kembali padam. Membuatku tidak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba kepala satpam aneh itu muncul tepat di depanku, tergantung dengan wajah membiru. Julia tiba-tiba berdiri di sampingku. Sontak itu membuatku terkejut seperempat mati.
                “Tenang, sedikit lagi kamu akan mencapai atap.” Aku mendengar suara langkah kaki. Semakin lama semakin banyak dan ribut. Salah satu Sign-er muncul dari lorong yang barusan aku lewati. Ia melihatku. Ia menggunakan speakernya yang sangat bising untuk memberitahu Sign-er lain tentang keberadaan kami. Aku berusaha merusak speaker itu dengan menembaknya. Tetapi tembakanku tidak akurat.
                “Permisi.” Kata Julia. Tanpa sengaja aku berkedip, Sign-er dengan speaker itu sudah menjadi dekorasi ruangan. Kali ini aku tidak terkejut karena aku sudah pernah melihatnya. Tetapi tetap terlanjur sudah, terlalu banyak Sign-er yang tahu lokasi kami dan sekarang sedang dalam perjalanan ke sini. Tiba-tiba ada sesuatu yang dilempar dari tangga. Itu adalah sebuah bom asap! Seketika bom itu meledak dan membatasi jarak pandangku.
                “Baiklah, harus aku akui kau cukup mahir dalam hal ini.” Aku seperti mengenal suaranya. Tapi aku tidak ingat namanya. suara itu seperti datang dari berbagai arah.
                “Siapa kau! Tunjukkan dirimu!” Kataku.
                “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Tapi jika engkau memaksa, baiklah.” Asap dari bom tersebut mulai hilang dan pandangan mulai jernih. Saat itu pula aku melihat pelaku yang sama dengan yang menjebak aku dan Raka di dalam gudang.
                “KAU!”
                “Bagaimana? Kaget huh?”
                “Grr.” aku merasa sangat ingin membunuhnya. Namun belum saja aku melangkah, aku sudah berada dalam cekikan rantai baja oleh sepuluh orang Sign-er.
                “Izinkan aku memperkenalkan diriku. Namaku Ade. Senang berkenalan denganmu.” Di akhir katanya, Ade terus menendang dan memukuliku. Selagi aku masih terbangun, aku dipaksa melihat Julia yang pingsan akan dijatuhkan dari gedung ini melalui jendela. Hal itu terjadi. Ia dijatuhkan dari ketinggian sekitar 900 m dari permukaan tanah. 
                “Tidak! Tidak! Julia!!!”
                “Ya! Ya! Ya!” ujar Ade sambil tertawa terbahak-bahak. “Kau selanjutnya.” ucapnya.
                Seketika itu tubuhku tak mampu kugerakkan. Rantai yang mencekik leherku dilepaskan. “SEKARANG, DATANGLAH KE PAPA!” tiba-tiba tubuhku bergerak sendiri maju seperti yang diperintahkan Ade. Aku berusaha melawan perintah itu tetapi aku benar-benar kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Tiba-tiba terdengar suara berbisik.
                “Kau tidak sendirian. Kuatkan hatimu. Lawan sekuat tenagamu!” begitulah suara bisikan misterius itu. Aku terus berkata kepada diriku sendiri “Aku pasti bisa! Aku pasti bisa!”. perlahan-lahan aku mampu mengambil alih kendali atas tubuhku. Wajah Ade yang tadinya penuh keyakinan berubah ragu.
                “Lebih baik aku ikut jatuh dari gedung ini ketimbang membantu orang seperti kau!” Ujarku. lalu aku menjatuhkan diri menyusul Julia.
                Melihat Julia yang sudah terjatuh, aku merasakan geram dan kesal yang sangat mendalam terhadap Ade dan gang SIGN-AI nya. Susunan molekul dalam tubuhku terasa berubah. Sebagian kulitku mengelupas. Ototku berubah menjadi kayu. Tubuhku berubah menjadi kayu. Tetapi, aku masih dapat menggerakkan tubuhku. Hanya aroma balas dendam yang manis yang tercium. Kayu-kayu dalam tubuhku tumbuh memanjang dan menyusun dirinya sendiri. Proses itu terjadi berulang-ulang hingga ukuran tubuhku sejajar dengan gedung tersebut. Wajahku sudah tidak berbentuk lagi. Mataku menjadi seperti mata kucing, hanya saja, memiliki 3 pupil yang berkobar. Duri-duri kayu tumbuh di punggungku. Gigiku copot semua dan tergantikan oleh gigi taring yang sangat tajam dari kayu. Kuku-kukuku pun menjadi lebih tajam dan juga menjadi kayu. Astaga, aku seperti monster!