“Semuanya sangat kacau. Kita harus kembali!” Jawab Raka sambil
meneteskan air mata.
“A.. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku lagi.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Mata indahnya berubah
menjadi abu-abu. Ia seperti kerasukan. Aku ketakutan, takut jika terjadi apa-apa
dengan Edsa. Edsa melompat dari punggungku dan terus mencoba menyerangku
seperti hewan liar. Aku berusaha membujuknya, tetapi ia seperti tidak mau
mendengarkanku.” Jawab Raka.
“Ia telah dicuci otak!” ujarku.
“Apapun yang kalian lakukan, ikutkan aku kedalamnya.” Pinta Julia.
“Baiklah, makin ramai makin baik!” Kataku.
“Terima kasih kawan-kawan. Hari ini aku mendapat kenalan baru yang
mungkin dapat membantu kita.” Kata Raka.
“Siapa?” Tanyaku dan Julia bersamaan.
“Aku belum begitu kenal, tapi dia memberiku selembar kertas.” Kata Raka.
Kami pun membaca tulisan yang tertulis di kertas itu. Itu sebuah alamat!
Tanpa basa-basi lagi, kami berangkat menuju alamat itu. Jl.Sasila no. 48b,
Rumdis, Harbor. Itu yang tertulis di kertas tersebut. Disaat kami sudah sampai
ke tujuan, tidak ada nomor rumah 48b. aku memang melihat helikopter yang sama
saat Raka terjun bebas dari dalamnya. Terparkir di kompleks tua yang
pembangunannya belum selesai dan ditinggalkan oleh penghuninya selama
bertahun-tahun.
“48b?”
“Kamu tidak salah menghitung ya kan?” Tanya Julia.
“Tunggu di sini, aku akan melihat sekeliling.” Kata Raka.
Aku dan Julia duduk di pinggir jalan. Menunggu hingga Raka kembali.
Tiba-tiba, aku mendengar suara yang bertanya “apakah kau temannya Raka?” Aku
tidak menjawab sampai Raka kembali. Lalu kami diajak masuk ke sebuah gang kecil
di antara rumah dengan blok 48 dan 49. Di situ terdapat pintu besi yang terbuka
untuk kami.
“Raka! Selamat datang di asramaku.”
“Sultan! Ahaha senang bertemu kamu lagi.”
“Kamu mengajak teman-temanmu ya. Bagaimana kalian bisa tahu lokasiku?”
“Kami mengikuti petunjuk yang tertera di lembaran kertas yang engkau
berikan kepadaku.”
“Baiklah, ayo ikut aku. Eh dan tolong kunci pintunya. Akan aku perkenalkan
kalian kepada seseorang.”
Aku pun mengunci pintu, menutup gerbang, dan cepat-cepat kembali ke
samping Raka. Sultan mengajak kami ke sebuah ruangan. Namun Julia berpamitan
lalu menghilang di balik bayangan.
“Ketuk saja.” Kata Sultan.
Kami pun mengetuk pintu. Lalu kami diperbolehkan masuk. Ruangan itu
tidak besar, tidak luas, dan tidak pula sempit. Ruangan yang terbuat dari bambu
dan susunan kayu yang telah diukir membuat suasana berada di ruangan tersebut
menjadi seperti suasana zaman dinasti-dinasti pada masa lampau. Seorang pemuda
sedang bertapa di tengah ruangan.
“Siapa kalian?” tanya pemuda itu
kepada kami.
“Mereka adalah orang yang
membebaskanku dari penjara tuan.” Jawab Sultan.
“Raka dan kawan-kawan,
perkenalkan, Mahaguru Reswara Musyafa.” Kata Sultan.
“Kami ingin meminta pertolongan.” Pinta kami kepada pemuda itu.
“Lho... kok mendadak sekali to? Oke oke gapapa. Kalian harus dites
dulu.” Kata Reswara.
“???”
“Berdiri dan coba ambil batu akik ini!” tantang Reswara.
Aku dan Raka pun mencoba dan mencoba berbagai cara untuk mengambil batu
akik yang dikalungkan di lehernya Reswara. Tantangan ini tidak semudah yang
kubayangkan. Dua jam sudah kami mencoba berbagai strategi untuk mengambil batu
mulia tersebut. Saat aku mulai berputus asa, Raka masih semangat.
“Menyerah?”
Sepertinya Raka melihat celah kecil dari kelengahan Reswara saat
berbicara sehingga batu akik itu dapat direbut dari tangan Reswara. Reswara
hanya tertawa kecil seraya berkata.
“Selamat untuk kalian berdua. Aku sudah punya data tentang strategi,
kelebihan, dan kekurangan kalian.” Puji Reswara.
Aku berbaring kelelahan sembari mendongakkan kepalaku. Aku melihat
Sultan terbaring lelap karena lelah menunggu. Aku menghadap ke arah Raka saat
ia sedang membaca data yang sudah dicatat oleh Reswara. Raka berjalan cepat ke
arahku untuk menunjukkan sesuatu. Tapi aku terlalu lelah untuk tetap terjaga.
“Selamat bergabung nak!” Aku melihat segerombolan orang, aku sangat
diterima. Suara alarm tiba-tiba berbunyi. Duta? “Maafkan aku, Bagus”. “Hello”. Tiba-tiba
ada monster kecil yang muncul dari balik selimut, menghancurkan semuanya.
Saat aku terbangun, aku sudah mendapati diriku terbaring di sebuah kamar
yang penuh dengan poster iron men. Aku mendengar percakapan kecil antara
Reswara, Raka, dan Sultan dari balik pintu. Aku menempelkan telingaku di pintu
itu untuk mendengarkan percakapan tersebut secara lebih jelas. Tetapi,
ekspetasi tidak sesuai realita. Ternyata pintu itu tidak tertutup rapat
sehingga aku terjatuh dan pintunya terbuka. Reswara, Sultan, dan Raka
memandangiku heran.
“Nah, kamu sudah bangun.”
Part 3
“Cepatlah pakai bajumu dan lihat
ini!”
Aku pun melakukan seperti yang
diperintahkan Raka. Yang kulihat adalah sebuah rekaman CCTV yang sudah diretas
dengan hanya bermodal laptop. Rekaman tersebut menunjukkan kondisi penjara
bawah tanah yang dijaga ketat. Dengan Edsa berada di sana. Sepertinya Reswara
sedang mencari celah untuk membobol sesuatu. Raka sedang merakit sesuatu.
Sesuatu yang terlihat berbahaya. Reswara menyusun dan mencatat data yang
didapatkannya lalu ia menyusun rencana. Rencana itu dirahasiakan sehingga aku
tidak tahu menahu tentangnya.
Tiba-tiba, Raka mengajakku
berjalan-jalan. Aku tidak tahu alasannya mengajakku, tetapi aku tahu ini
penting baginya dan bagiku. Sebelum itu, kami memakai pakaian khusus untuk
menyamar. Aku pun akhirnya tahu alasannya mengajakku. Lalu kami pun pergi ke
sisa-sisa reruntuhan sebuah kilang minyak yang sudah hancur untuk mencari
senjata maupun komponen yang mungkin bisa berguna. Aku mengambil ini dan itu lalu
mengumpulkannya dalam keranjang seperti sedang berbelanja. Aku menggali
reruntuhan dan menemukan sebuah peti. Namun, para Sign-er tiba-tiba dating untuk
tujuan yang sama. Apa boleh buat, LARIII.
Tengah malam, kami disuruh
berkumpul. Reswara memberikan kami tugas masing-masing. Sultan bertugas sebagai
antar-jemput. Raka bertugas membebaskan Edsa. Reswara bertugas mengawasi. Aku
bertugas untuk mengalihkan perhatian, atau dalam kata lain, tumbal.
Sebelum fajar tiba, kami sudah
tiba di lokasi dan memulai operasi gakJelas. Aku pun melompat dari helicopter dan
berjalan menuju gerbang masuk sambil mengejek-ejek Sign-er yang ada disana. Alhasil,
aku diburu. Raka mulai menjalankan tugasnya. Ia memasang alat yang ia rakit
semalam. Lalu, gerbangnya terbuka. Aku tidak bisa melihat lebih banyak lagi
karena aku sedang sibuk dikejar-kejar Sign-er. Aku menggiring mereka ke tempat
yang telah ditentukan. Lalu Sultan menghujani para Sign-er itu dengan rudal
kendali. Tidak mematikan, hanya membuat mereka tidur. Aku mengambil sampel
kulit, darah, dan rambut mereka. Lalu Sultan menaikkanku kembali ke dalam helicopter.
Lalu kami pergi ke tempat dimana Raka sedang menunggu jemputan. Lalu menaikkan
Raka.
“Edsa tidak ada disana! Cepat! Waktu
kita hanya tiga menit!” kata Raka.
“Baiklah, ayo naik!” kata
Sultan. Penjara itu meledak, tetapi tidak ada suara apa pun yang memekakkan
telinga.
“MutedHDC4,
bom rakitan High Damage tanpa suara keras.” Kata Sultan. Sepertinya aku
satu-satunya orang di sini yang intelegensinya kurang. Kami pun kembali ke markas
kami. Aku melihat Raka yang termenung sendirian sambil memegang selembar fotonya
saat bersama Edsa.
Sesampainya di markas…
“APA!
Padahal rekaman CCTV sudah jelas-jelas menunjukkan dia ada disana! Atau jangan
jangan…” kara Reswara. Reswara kembali membuka laptopnya lalu menyambungkan
berbagai alat ini dan itu yang aku tidak mengerti.
“???”