“Astaga! Makhluk apa itu?”
tanya Sultan.
“Itu Bagus.” Jawab Raka.
“Akhirnya kamu menampakkan wujud aslimu.” Ujar
Reswara.
Aku melihat Ade yang masih berdiri di tempatnya
semula. Lalu aku mencakarnya. Secara otomatis jari tanganku yang akan digunakan
untuk mencakar memanjang dengan sangat cepat sehingga menimbulkan kerusakan
yang serius pada gedung itu. Ade hanya tersenyum lalu tertawa sinis.
“Hanya itu kemampuanmu?” tantang Ade.
“Sekarang giliranku. Sign-ers, SERANG!” lanjutnya.
Aku mengayunkan tanganku untuk menghancurkan mereka.
Aku rasa, dalam bentuk tubuh yang seperti ini, mereka sangat mudah untuk
dikalahkan. “Sepertinya aku harus turun tangan.” Kata Ade. Sebagian dari
Sign-er sangat kuat. Sebagian lagi sangat lemah. Masing-masing memiliki kelebihan
sendiri.
Ade sendiri memiliki kekuatan gelombang bunyi. Ia
mengambil posisi, menjulurkan tangannya, lalu BAM! Aku terlontar beberapa ratus
meter jauhnya. Bangunan lain yang menghadang tidak cukup kuat untuk menahanku. Bunyi
yang dihasilkan Ade sangat keras sehingga seluruh kaca yang berada di dalam
radius satu kilometer pecah seluruhnya. Raka dan Sultan yang memakai penutup
telinga saja, telinga mereka sudah bercucuran darah.
Ya, dalam tubuh ini, aku hanya mengandalkan
pengelihatan. Aku tidak bisa mendengar apa-apa sejak tadi. Aku kehilangan
banyak duri dan kayu sebagai penyusun utama tubuhku. Karena aku lemah,
regenerasiku lamban. Aku pun bangkit dan ingin membalas Ade. Sebelum aku
bangkit, aku melihat Edsa. Ia sedang merampok bank dan mendapat banyak sekali
harta. Matanya ditembak polisi setempat ketika ia akan kabur sehingga ia
terjatuh. Namun, matanya masih berwarna abu-abu. Aku berkesimpulan perampokan
itu bukan perbuatannya. Ada yang mengendalikannya.
Aku pun membawa Edsa denganku. Aku melindunginya di
dalam genggamanku. “Aku janji akan membawamu kembali kepada Raka.” Gumamku
dalam hati.
“Hah, dia tidak ada apa-apanya.” Ujar Ade.
“Tetapi jangan meremehkannya. Hanya ada 2 orang dari
ras Bit yang tersisa di dunia.”
“Aku tidak peduli, aku ingin kekuatannya diekstrak
sesegera mungkin!” Perintah Ade.
“Baiklah tuanku.”
Para Sign-er melakukan tugasnya dengan baik, yang
berarti buruk bagiku. Mereka lebih kompak dari biasanya. Tiba-tiba terdengar
suara bisikan misterius itu lagi. “Biarkan aku membantumu.” Aku mengiyakan
karena aku ingin cepat-cepat bertemu Raka yang sepertinya sudah terbang jauh
meninggalkanku. Seketika itu tubuhku menyerang mereka secara membabi buta,
liar, tanpa memedulikan apa yang aku hancurkan. Aku berusaha kembali melukai
Ade sekali saja.
Sign-er membuat tembok es? Hancur luluh. Aliran
listrik? Tidak berbekas. Menembakkan rudal? Baiklah yang ini terasa sakit. Mengirim
robot raksasa untuk menyerangku?
“Hei ini tidak sepadan!” gumamku dalam hati. Aku
berusaha memotongnya. Tetapi kayu masih kalah dengan besi sehingga tangan kirikulah
yang hancur. Aku tidak akan menggunakan tangan kananku. Karena Edsa terbaring
didalamnya, ia membutuhkan penanganan medis sesegera mungkin. Aku sendiri, saat
itu sedang kewalahan diserang bertubi-tubi. Aku berharap keajaiban berpihak
kepadaku. Tubuh monsterku sudah mencapai batasnya dan ukuran tubuhku kembali
normal. Aku sudah tidak mampu merangkak, apalagi berdiri. Tetapi pada saat itu
para Sign-er malah berhenti menyerangku. Mereka berfokus pada masalah lain.
Aku melihat keajaiban. Keajaiban rantai-rantai
raksasa tiba-tiba mengekang para Sign-er satu per satu. Keajaiban gedung yang
tiba-tiba runtuh menimpa robot raksasa itu. Sayang sekali sepertinya keajaiban
itu tidak berpihak padaku. Aku juga ikut terikat rantai tersebut.
Tidak lama kemudian datanglah seseorang. Ia mengecek
dan mengambil semua barang yang ia perlukan dari para Sign-er itu. lalu ia
membunuhnya. Saat giliranku, ia merogoh-rogoh saku celanaku tanpa melihat
wajahku. Didapatinya satu buah dompet kosong yang hanya berisi tanda
pengenalku. Ia mengacungkan pistolnya ke arahku. Namun, setelah membaca tanda
pengenalku, ia menyimpan kembali pistolnya. Saat itu aku sangatlah lemah dan
belum bisa menggerakkan sebagian tubuhku. Giliran Edsa tiba. Ia hanya mengambil
beberapa batang emas hasil rampokan. Lalu ia mengubahnya menjadi sebuah pisau.
Ya, aku melihatnya sendiri. Ia mengubah bentuk logam mulia itu menjadi sebuah
pisau multifungsi. Tiba-tiba sebuah ingatan melesat masuk ke dalam pikiranku.
Sebuah hiburan untuk kami.
Terdapat orang tua yang seorang pesulap. Ia menghibur kami dengan salah satu
sulapnya.
“Aku butuh seorang suka rela
wan.” Tidak ada yang mengangkat tangan.
“Bagaimana denganmu, anak muda?”
ujarnya sambil menunjukku.
“Maju aja, nggak papa.” Kata
orang yang duduk disampingku. Lalu aku memberanikan diri dan segera naik
panggung.
“Baiklah anak muda, mari kita mulai.
Sebelum itu, siapa namamu?” tanya orang tua itu.
“Bagus.” Jawabku.
“Bagus, semuanya perhatikan
parang ini. Berbahaya bukan?” tanya orang tua itu. Penonton hanya mengangguk
tanda setuju.
“Bagaimana jika parang ini aku
tebaskan pada anak ini di hadapan kalian?” tanya orang tua itu membuat penonton
makin penasaran. Lalu orang tua itu menebaskan parang itu ke sekujur tubuhku
secara cepat. Tanpa mengenaiku. Hal itu mengundang decak kagum para penonton
yang hadir termasuk aku sendiri.
Ketika semua penonton telah
bubar, orang tua itu mengajakku ke belakang panggung. Ia memberitahukanku
rahasia trik sulapnya. Kali ini ia menebasku secara perlahan. Dan ajaib! Bagian
parang yang akan terkena tubuhku meleleh dan bersatu kembali ketika jaraknya
cukup jauh dengan tubuhku.
“Aku mampu mengubah bentuk
segala jenis logam.” Lanjutnya.
Ia membebaskanku dari kekangan rantai. Ia adalah
pesulap itu.
Part 4
Ketika
aku sudah benar-benar pulih, aku membebebaskan Edsa dari ikatan rantai.
“Dimana aku?” Edsa yang mata
kanannya tertembak itu, bisa berbicara dan berpikir secara normal kembali.
Matanya tidak lagi berwarna abu-abu. Ia bisa bergerak seperti dirinya yang dulu
lagi.
“Bagus? Dimana Raka?” itulah
pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut Edsa setelah siuman.
“Ouch!” Edsa berusaha mengedipkan
matanya. Lalu Edsa memegang mata kanannya yang sudah rusak tertembak. Tetapi
tidak ada peluru bersarang di matanya. Aku pun segera menyobek bagian bawah
kausku untuk membuat perban alternatif untuk menutup mata kanannya Edsa. Lalu
aku melilitkannya pada Edsa.
“Terima kasih.”
Aku melihat sekelilingku lalu
berkata.
“Aku tahu dimana Raka.” Aku tahu
karena aku dan keluargaku sering berlibur ke sini. Tentu aku tahu sebagian
besar daerah ini. Yang aku lihat sekarang sudah sangat berbeda dengan yang
dahulu.
“Benarkah?”
“Ya. Ayo ikut aku”
Jalanan
sepi dan gelap. Hanya lampu jalan yang sudah roboh dan kadang-kadang
mengeluarkan percikan api dari dalamnyalah yang menerangi jalan. Kaca-kaca
jendela pecah. Gedung-gedung yang berlubang karena ledakan. Edsa berada tepat
di belakangku. Aku berjalan lebih jauh dan lebih cepat. Tiba-tiba, suara piring
pecah mengejutkanku. Aku menengok ke arah suara itu. Rupanya itu adalah seorang
Sign-er yang sedang mengobrak-abrik sebuah minimarket di pinggir jalan. Aku
lekas sembunyi. Namun rupanya ia lebih cepat menyadari keberadaanku. Ia bejalan
perlahan sambil menyeret pedang besarnya.
“Lari!”
kami pun berlari secepat mungkin untuk menghindarinya. Ia mengayunkan pedangnya
setinggi leherku.
“Merunduk!” kami pun segera merunduk. Pedang itu hanya beberapa
milimeter lagi untuk mengenai ujung rambutku. Aku berbalik dan menendang
pedangnya sehingga ia terpental. Kami pun berhasil lolos darinya.
“Aku pikir kita berhasil lolos.”
“Syukurlah.” Kata Edsa.
“Kita harus mencari tempat untuk berlindung.”
“Aku kangen Raka.” Kata Edsa.
“Kita akan segera tiba di sana. Semoga saja” hanya tinggal melewati
kota, memutar di kaki gunung, menyebrangi jembatan, dan melaut dari teluk dan
berlabuh di pelabuhan harbor. Aku tidak dapat menjamin. Tetapi usaha tetap
diperlukan. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Tidak lama kemudian, aku menemukan tempat yang cocok untuk bermalam. Ada
sebuah apartemen yang rusak tetapi masih layak huni. Aku pun masuk dan naik ke
lantai 2. Aku mendobrak salah satu pintu kamar hingga terbuka. Sementara Edsa
mengambil kunci kamar dari meja reseptionist lalu membuka pintu kamar lain
dengan normal. Aku tidak tahu apa yang Edsa lakukan, aku hanya berfokus
mengambil barang-barang yang aku perlukan, seperti makanan, minuman, tenda, dan
sebagainya. Lalu aku segera pergi tidur.
Keesokan harinya, aku segera bangun lalu mandi dan bersiap-siap. Lalu
aku keluar kamar dan mendapati Edsa sedang duduk menunggu.
“Kapan kita berangkat?” tanya Edsa.
“Sekarang.” Jawabku. Kami pun berangkat. Pertama kali keluar ke jalan,
kami sudah mendapati jalanan yang retak dan membentuk jurang yang sangat dalam.
“Apapun penyebabnya, ini pasti tidak bagus.” Ujarku.
Benar saja, saat kami menyusuri retakan itu, kami menemukan lubang yang
sangat besar dan dalam di tengah-tengah kota. Entah apa yang terjadi. Kami pun
melanjutkan perjalanan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Hari itu sangat terik
dan menyilaukan. Bekal yang kami bawa mulai kritis. Air, makanan, semua harus
dihemat.
Sesampainya di pinggir kota, tepatnya di dalam area pertanian pak Bon
yang sudah sepi dari manusia maupun hewan ternak, sudah terlihat pegunungan
yang menutupi jembatan layang terpanjang di dunia. Memang masih sangat jauh,
tetapi sudah tercapai lebih dari seperempat perjalanan. Hari mulai senja. Kami
pun terpaksa bermalam dengan mendirikan tenda di tempat ini.
Aku tidak tidur semalaman. Menjaga agar tidak ada musuh mendekat. Dan
tidak ada tempat lagi di dalam tenda. Malam itu sangat sunyi. Kota tidak
terlihat indah lagi. Para Sign-er tengah membangun markas lagi di tengah-tengah
kota. Aku tidak tahu bagaimana nasib seluruh penduduknya. Berjam-jam kulalui
dengan rasa bosan dan kantuk. Sesekali aku memejamkan mata dengan harapan dapat
mengurangi rasa kantuk tanpa tertidur.
Fajar telah tiba. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air. Aku pun mencari
tempat yang aman untuk buang air. Setelah kembali, Edsa menghilang. Aku pun
mencarinya. Tidak terlalu jauh dari tenda, aku menemukannya. Ia sedang berjalan-jalan
di sekitar kaki gunung sambil bercakap-cakap dengan orang asing. Aku pun
memanggilnya.
“Hooy!”
Panggilanku berhasil, mereka berdua menengok ke arahku. Karena merasa
penasaran, aku mendatangi mereka. Itu orang yang sama yang menyelamatkanku dari
serangan Sign-er. Orang yang ada dalam ingatanku. Tiba-tiba ia menatapku tajam
lalu berkata.
“Aku yakin ini pasti ini milikmu. Wahai sang warisan.” Ucapnya sambil
mengembalikan dompetku. aku termenung sejenak. Lalu aku terdiam.
“Ayo, ikut aku.” lanjutnya.
“Ikut aja. Ia dapat membantu kita.” Ucap Edsa. Kami pun mengikutinya
sampai ke sebuah gua yang sangat terpencil dan menakutkan.
“Masuklah.” Aku masuk tepat setelah sebuah tentakel hitam raksasa
tiba-tiba muncul di tengah-tengah kota. Menghancurkan markas Sign-er yang sudah
hampir berdiri tegak. Disertai dengan tembakan rudal-rudal dari tank-tank milik
para Sign-er.
Gua yang jalannya seperti labirin itu sangat dalam. Sehingga kami harus
berhati-hati. Kami terus mengikuti orang itu hingga kami mencapai jalan buntu.
Jalan itu tertutup baja yang tebal, tetapi orang itu dapat membuka jalan dengan
mengubah bentuk baja itu menjadi pintu. Setelah pintu itu, terdapat
ruangan-ruangan yang meliuk-liuk saling terhubung satu sama lain. Ia pun
menyalakan lampu minyak yang ditempel di setiap sudut ruangan.
“Berbaring!” kata orang itu kepada Edsa.
“Apa yang akan kau lakukan padanya?”
“Diamlah!” bentak orang itu. Kulihat orang itu membuka ikatan kain yang
berguna sebagai perban dari Edsa. Ia meraih meja besi dengan peralatan
berbahaya diatasnya. Ia mengambil sebuah pisau kecil dan mencoba menusukkannya
ke bola mata Edsa. Aku pun menghentikannya.
“Sedang apa kau?” Ujarku sambil memegangi tangannya.
“Kamu! Diam saja!” sahutnya.
“Tidak” ujarku.
“lámhaigh síos!” Ucapnya. Seketika itu juga tiba-tiba muncul rantai yang
mengikatku lalu menarikku sehingga terikat di langit-langit ruangan dengan
rantai beraura putih.
“Tidak!, aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi!” ujarku.
“Siapa yang ingin menghilangkan?” sahutnya. Lalu ia pun melanjutkan
pekerjaannya.
Beberapa jam berlalu, akhirnya ia sudah selesai. Edsa bangun dengan
perban baru. Aku dilepaskan dari rantai lagi. Aku pun segera bertanya kepada
Edsa.
“Apa yang ia lakukan padamu? Aku tidak bisa melihatnya tadi.”
“Hanya menbersihkan infeksi lalu memberi perban.” Jawabnya.
“Benarkah?”
“Ya”
“Lalu dimana ia sekarang?”
“Di mulut goa”
Aku pun pergi ke mulut goa meninggalkan Edsa sendiri. Aku mendapatinya
sedang duduk di batu tepian goa. Aku pun perlahan mendekatinya. Lalu duduk di
sampingnya. Tiba-tiba ia berkata.
“Seandainya dunia ini masih seperti dahulu.”
“Dunia seperti apa?” tanyaku.
“Dunia ketika semua ras saling rukun dan menghormati. Lihat duniamu
sekarang.” Jawabnya.
“Ras?” tanyaku lagi.
“Ya, ras. Ras apa sajalah, ras Anim, Imagi, Elemental, apa saja.”
Jawabnya. Lalu ia menjelaskan tentang sejarah munculnya berbagai ras di bumi.
“Ras pertama yang muncul adalah ras Anim. Berawal dari seorang
penggembala yang belajar untuk menjinakkan semua hewan. Yang kedua adalah Imagi.
Mereka memiliki imajinasi yang sangat kuat sehingga dapat menjadi nyata. Yang
ketiga adalah Elemental. Sementara ras-ras yang muncul selanjutnya merupakan
pengembangan dari ketiga ras dasar ini.” jelasnya.
“Perubahanku menjadi raksasa mungkin ada hubungannya dengan ini.”
Pikirku.
“Oh iya, aku belum tahu namamu.” Kataku.
“Nazar. Nazar Farhana Cakra Bimantara.” Jawabnya sambil bersalaman
denganku.
Setelah itu, Nazar mengajakku dan Edsa pergi ke kota karena ia mulai
kehabisan bahan makanan. Bukan kota dari arah kami berasal, namun melewati
jembatan. Setibanya kami disana, jembatan itu sudah rusak parah. Dengan kapal
yang sudah setengah tenggelam di tengah-tengah jembatan. Kami berusaha
menyebrangi jembatan.
“Awas! Itu bekas cairan asam.” Kata Nazar. Kami pun lebih berhati-hati
supaya sepatu dan sandal kami tidak terkikis asam.
“Tunggu! Asam ini baru. Ia ada di sekitar sini. Tetap waspada!” kata
Nazar. Kami pun lebih berhati-hati lagi. Setengah perjalanan menyebrangi
jembatan terlalui begitu saja. Namun, saat kami hampir sampai ke ujung
jembatan, ia menampakkan diri. Seorang Sign-er dengan enaknya menyemburkan asam
ke arah kami dari mulutnya. Untung saja kami berhasil menghindar. Edsa
mengeluarkan senjata api lalu bersiap untuk membidik dengan satu mata lalu
menembak.
“Jangan!” teriakku kepada Edsa sehingga tembakannya meleset. Hampir saja
peluru itu menembus perut Sign-er itu yang penuh dengan asam. Aku mengingat
cara untuk menyembuhkan Edsa. Aku pun berlari ke arah Sign-er itu. Melompat,
menusuk mata kanannya dengan pisauku, lalu mendarat sempurna di belakangnya.
“Semua tidak apa-apa?” tanyaku.
“Kami tidak apa-apa.” Jawab mereka.
“Apa, dimana aku?“ kata Sign-er itu sambil menutup mata kanannya yang
sedang bercucuran darah dengan tangannya.
Caraku berhasil, ia sembuh. Ia menjadi normal kembali.
“Siapa kalian?” tanyanya.
“Aku Bagus. Ini Edsa dan itu Nazar. ” jawabku.
“kalian bukan orang yang merusak tempat tinggalku secara brutal kan?”
tanyanya lagi.
“Bukan. “ jawabku.
Kami pun segera memberinya pertolongan pertama di tempat itu juga.
“Terima kasih. Namaku Agil. Agil Sifak Fahmi.” Ujarnya.
“Maukah kamu ikut dengan kami?” tanya Nazar kepada Agil.
“Sayang sekali tidak. Aku harus tetap di sini menjaga daerah ini.” Jawab
Agil.
“kotamu sudah hancur selama kamu tidak sadar. “ kata Nazar.
“Benarkah?” lalu Agil seperti terburu-buru berlari ke arah kota yang
sudah rusak itu.
“Haruskah kita mengejarnya?” tanya Edsa.
“Tidak.” Jawabku.
“Lebih baik kita melanjutkan perjalanan.” Kata Nazar.
Sesuai perintah Nazar, kami pun melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di
tengah kota, secara kebetulan, kami bertemu Raka. Edsa sontak langsung berlari
sambil menangis ke arah Raka lalu memeluknya erat-erat. Raka pun juga begitu.
“Raka…”
“Edsa…”
Entah mengapa Nazar tiba-tiba
menyerang Raka. Raka berhasil menghindar ke tempat yang tidak bisa dijangkau
Nazar. Aku pun langsung melindungi Raka.
“Kau ini kenapa?” tanya Raka kepada Nazar.
Nazar terlihat semakin geram.
“DASAR RAS TAK TAHU DIRI!” bentak Nazar kepada Raka.
“IKKE!” tiba-tiba, gedung-gedung pencakar langit yang nazar lihat
terlontar ke udara.
“Tidaak! Jangan kau rusak kotaku!” kata Agil sambil berlari cepat dan
menerjang Nazar hingga Nazar dapat menembus tembok bata. Lalu kami mengikatnya.
“Akhirnya kita bertemu lagi.” Kata Raka.
“Dimana Reswara dan Sultan?” tanyaku.
“Sebentar lagi mereka akan datang.“ jawab Raka.
Lalu samar-samar terdengar suara helikopter. Suara itu makin keras,
makin keras, dan keras. Lalu.
“EVAKUASI! EVAKUASI SEMUA ORANG! SELAMATKAN DIRI KALIAN!” suara teriakan
Reswara terdengar begitu jelas. Tiba-tiba, muncullah helikopter yang dikendarai
oleh Reswara dan Sultan diikuti dengan pasukan Sign-er yang sangat banyak.
“LARI! LARI! LARI!” perintah Raka.
“Bagaimana dengan Nazar?” tanyaku.
“Tinggalkan saja!” kata Agil. Namun aku tidak ingin meninggalkannya. Aku
berlari kembali menuju tempat Nazar sekarang. Namun, itu semua sudah terlambat.
Aku berbalik arah dan berlari sekencang kencangnya. Aku sudah tertinggal dari
yang lainnya. Aku terkepung. Mereka semakin mendekat dan mendekat. Tidak
mungkin untuk melawan mereka yang elit dan dalam jumlah banyak. Juga tidak
mungkin untuk menyerah. Tiba-tiba,
“Hai Bagus…” semuanya menjadi gelap gulita. Seperti dalam mimpi-mimpi.
Saat itu aku hanya dapat mendengar suara teriakan dari orang yang tersiksa.
Setelah kegelapan itu sirna, banyak Sign-er yang mati terbunuh. Tapi tidak
semua. Jadi, aku masih dikepung. Lalu Julia muncul secara tiba-tiba di sisiku.
Kami pun melawan sekuat tenaga sampai kami kehabisan jurus dan tenaga.
“Butuh bantuan?” seorang pemuda tiba-tiba muncul dibelakangku menawarkan
bantuan. Belum sempat aku menjawabnya, ia sudah menghilang lagi. Seketika itu
juga para Sign-er yang mengepung kami dikurung dalam kotak-kotak. Kotak-kotak
itu makin lama makin mengecil sampai isi dari kotak itu benar-benar hancur.
Para Sign-er yang terkurung mencoba keluar dari kotak itu. Tetapi mereka tidak
bisa keluar walau yang elit sekalipun. Lalu pemuda itu muncul lagi.
“Tidak perlu berterima kasih.” Pemuda itu memiliki mata hijau terang
menyala dan tanda khusus di tangannya.
“Siapa namamu?” tanya Julia sambil menggigit mata pisau yang berlumuran
darah.
“Perkenalkan, namaku Aryazaky.” Jawab pemuda itu. Julia mencoba menusuk
Aryazaky dengan pisau yang tadi digigitnya. Tetapi tembus dan malah mengenai
tanganku.
“Percuma saja, tubuhku bersifat seperti hologram.” Kata Aryazaky.
“Akh… “ aku hanya menahan sakitnya tanganku.
“Akan aku berikan informasi yang mungkin berguna bagi kalian. Dengarkan
ini.” Lalu Aryazaky memainkan tape recordernya. Yang berbunyi…
“Aku
sudah tidak membutuhkanmu!”
“Sejak
kita masih anggota The Cogans, sampai kamu sukses seperti sekarang ini. Akulah
yang membantumu dan mendukungmu selama ini. “
“Sahabat
sudah tidak berguna! Aku punya harta, kekuasaan, dan banyak pengikut!”
“Jika
ini maumu wahai sahabatku. Baiklah.”
“Bagaimana?” tanya Aryazaky.
“Aku sepertinya mengenal suara itu.”
“Begitu pula aku. Aku mengenal mereka berdua.” Kata Julia.
“Siapa mereka?” tanyaku.
“Ade dan Dio, sahabatnya.” Jawab Julia.
“Seratus! Baiklah, aku permisi dulu ya.” Kata Aryazaky sebelum
menghilang lagi. Aryazaky meninggalkan rekaman itu. Jadi, aku bawa saja. Julia
menatapku manis, lalu ia membuat pengelihatanku menjadi gelap gulita. Saat
kegelapan sirna, aku sudah berada di markas baru Reswara. Markas itu masih
sepi, karena Reswara, Sultan, maupun Raka belum ada yang sampai. Aku tebak aku
pemenangnya. Beberapa saat aku menunggu. Akhirnya mereka sampai.
“Hei Bagus, kemana saja kamu?” tanya Reswara.
“Bukankah kamu yang meninggalkanku?” jawabku.
“Masalah itu, kami harus meninggalkanmu.” Jawab Reswara.
“Reswara, apakah kamu tahu orang ini?” tanyaku sambil menunjukkan
rekaman suara yang ditinggalkan Aryazaky.
“Mmm… ayo kita cari.” Jawab Reswara. Setelah beberapa lama, akhirnya
ketemu.
Dio adalah satu dari dua pemilik pabrik senjata paling besar di masanya.
Yang kedua adalah Maharduta. Atau bisa dipanggil Duta. Duta ditemukan meninggal
terikat di kursi di pabrik senjatanya sendiri. Sementara Dio menghilang secara
misterius bersama semua senjata unggulan buatannya. Pabrik itu sekarang telah
digusur lalu dibangun perumahan di atasnya. Semua barang peninggalan pabrik
yang tersisa dipindahkan ke museum dalam rangka mengenang tragedi mengerikan
yang terjadi setelahnya. ~ In memorial The Cogans.
“Ayo berangkat!” kataku bersemangat. Reswara sepertinya mengetahui
maksudku. Ia mengikutiku dari belakang. Reswara menerbangkan helikopter
sementara aku menjadi penumpangnya. Kami menuju ke pusat penyimpanan berkas
museum. Tidak butuh waktu lama, kami sudah menemukan apa yang kami cari. Sebuah
buku diary milik Maharduta Adiwijaya. Salah satunya berbunyi…
Bertahun-tahun
lalu, hanya ada 1 ras, yaitu ras manusia. Namun, sejak adanya peperangan
berdarah, ras manusia terpecah menjadi beberapa ras lain. Setiap ada
peperangan, masing-masing ras akan terpecah belah menjadi beberapa kelompok. Mereka
yang menyadari adanya perpecahan yang terus menerus memutuskan untuk
mendamaikan dunia dengan “Deklarasi Part” atau Deklarasi Perdamaian Antar Ras
Terpisah. Sayang sekali, usaha itu gagal. Suatu saat, ada seseorang yang
mencetuskan berdirinya organisasi The Cogans sebagai tempat perkumpulan antar
ras. Namun, ada orang yang melihat celah kecil di dalam The Cogans yang dapat
dimanfaatkan untuk menguasai dunia. Orang itu pun bergabung dalam The Cogans.
Suatu hari, sang pendiri The Cogans melihat kegelapan di dalam hatinya. Tetapi
ia tidak membunuhnya, melainkan hanya mengusirnya. Orang itu memiliki sahabat yang merupakan orang
terpercaya. Ia memanfaatkannya sebagai “orang dalam”.
Part 5
2 bulan kemudian…
“Apakah kau masih ingat? Dahulu, The Cogans adalah gang terkeren sepanjang
masa. Setidaknya sampai aku dikhianati!” kata Ade.
“Justru kaulah penghianatnya! Kau memanfaatkan mereka demi kepentinganmu
yang tidak terpuji sama sekali!” kataku.
“The Cogans akan berakhir hari ini!” Ade menembakkan bunyi yang sangat
kuat ke arahku.
“Tidak akan!” Aryazaky menghalangi serangannya menggunakan pelindung
transparan.
“Biting no jutsu!” teriakku sambil menunjuk ke arah Ade. Lalu
biting-biting mulai berhamburan dengan kecepatan tinggi mengikuti Ade.
“Bass!” kata Ade. tiba-tiba gendang telingaku robek dan berdarah.
“Sword!” tanganku langsung berubah menjadi pedang kayu yang tidak dapat
diremehkan walau hanya kayu. Aku berlari sekencang mungkin dibantu oleh Agil.
Lalu aku mengayunkan pedangku dengan harapan aku dapat menebas Ade. Ade
menghindar dan memukul perutku dengan sangat keras. Pinggangku robek. Aku
terpental sangat jauh. Sultan berusaha menembak Ade dari helikopternya. Agil
mengubah cuaca dan memusatkan sambaran petir pada Ade. Aryazaky membatasi area
sekitar dengan kekuatannya supaya para Sign-er tidak bisa masuk dan Ade tidak
bisa keluar. Edsa dan Raka merakit jebakan. Reswara membantu Aryazaky. Julia
masih dalam perjalanan kemari. Aku tidak akan diam saja ketika teman-temanku
berusaha melawan Ade. Aku akan ikut melawan!
Tiba-tiba helikopter Sultan tertarik jatuh ke arah Ade. meledak sehingga
melontarkan Agil. Lalu tiba-tiba Ade dapat terbang dengan api. Oh tidak, Ade
mengambil kekuatan Sultan. Ia menunjukkan kemarahannya padaku. Menembakiku
dengan bola api. Aku membalas dengan…
“Biting tsunami!” lalu muncullah ombak besar yang terbuat dari biting
siap menerjang Ade. sayang sekali Ade membakarnya. Lalu Ade berubah kekuatan.
Kali ini ia menjadi pengendali besi dan api sekaligus. Kami sempat beradu
pedang. Ia lebih banyak melukaiku ketimbang aku melukainya. Sabetan terakhirnya
memotong tangan kiriku. Aku merasa lemas karena mulai kehabisan darah.
“Lihat ini, The Cogans sekarang akan punah kembali!” kata Ade dengan
begitu percaya dirinya menginjak kepalaku. Aku pun berontak dan menyerang Ade
sekali. Namun Ade berhasil menghindar lalu ia langsung menusukku dengan besi.
Besi itu tertancap dalam tanah. Ade memegang besi panas di tangannya. Siap
mengeksekusi diriku. Aku memejamkan mataku. Aku akan kalah.
“Harus kuakui, kau sumpit yang membandel.” kata Ade. “Sekarang,
RASAKANLAH!” Ade menusukkan besi panas itu.
Aku membuka mata. Aku melihat Raka berdiri di depanku menahan serangan
Ade. Besi panas menembus jantungnya dan hampir mengenaiku.
“R… Raka?”
“Tidak mengapa, kaulah sahabat terbaikku.” Raka tersungkur kaku dengan
sebagian tubuhnya hancur terbakar. Edsa yang melihatnya langsung menangis
histeris sejadi-jadinya.
“T… Tapi mengapa?” aku memandangi Raka untuk beberapa saat. Aku tidak
bisa membendung air mata dan amarah ini.
“Sekarang giliranmu!” kata Ade sambil menunjukku. Aku ingin melawan,
tetapi Reswara mencegahku. Ia malah menyuruh untuk mundur.
“Kenapa? Kau tidak berani?” kata Ade sambil mempercepat langkahnya.
“Tenanglah, Raka itu pintar. Tentu saja ia memiliki rencana.” Kata
Reswara.
Ade tiba-tiba berhenti sesaat karena melihat ada benang jebakan di
hadapannya. Ia meremehkannya dan memotongnya. Akibatnya, sistem yang dirancang
oleh Raka bekerja. Membuat sebuah pelontar dari kejauhan aktif dan melontarkan
bola api ke arah Ade. Membuat rerumputan menjadi terbakar. Ade dengan mudahnya
menghindar dan tanpa sengaja menginjak jebakan lain yang mengakibatkan sebuah
pohon tumbang tepat ke Ade. Namun, sekali lagi Ade dapat menghindar dengan
mudah. Rerumputan yang terbakar menjadi semakin luas.
“Hanya ini? Lemah sekali.” Kata Ade dengan sombongnya berjalan. Lalu
tanpa sengaja Ade menginjak cairan yang sangat lengket berwarna hitam. Cairan
itu merambat dan melilit Ade secara perlahan.
“Mungkinkah itu… “ tebakanku benar. Julia telah kembali. Tetapi kali ini
ia mengajak para Demons yang merupakan anak buahnya.
“Hai, nikmatilah mimpi burukmu!” kata Julia sambil tersenyum. Lalu ia
melilit kakinya Ade dan membanting-banting Ade ke segala arah. Kebakaran
rerumputan makin meluas.
“Teman-teman, kini giliran kalian. Siksalah makhluk ini sepuas kalian.
GRATIS!” para Demons melakukan tugasnya dengan baik. Ade tidak diberi ampun
maupun kesempatan sedikitpun untuk menyerang balik. Kedua tangan dan kaki Ade
ditarik ke arah yang saling tegak lurus. Julia berjalan mendekati Ade lalu
berkata.
“Mau kuberi hadiah?” kata Julia sambil tersenyum. Dari mulutnya keluar
sebuah pisau panjang. Pisau itu menembus tenggorokan Ade dan membuat rahang
bawah Ade terlepas dari tempatnya. Ade pun dibiarkan sekarat di tengah-tengah
rumput yang terbakar.
“Baiklah teman-teman, terima kasih atas bantuannya.” Kata Julia sambil
mencabut pisau dari tenggorokan Ade. Semua Demons pergi meninggalkan tempat itu.
Karena berpikir bahwa keadaan sudah aman, Aryazaky menonaktifkan pelindung
raksasanya.
“Aku rasa tugasku di sini sudah selesai.” Kata Julia sambil memainkan
pisau.
“Aku tidak akan pernah mengganggumu.” Ujarku sambil sedikit merinding.
“Jika kau menggagguku, kau akan tahu akibatnya.” Kata Julia.
“Selesai sudah.” Kata Aryazaky.
Namun tiba-tiba Ade kembali bangkit walau dirinya sendiri sedang sekarat
tanpa rahang bawah.
“Urusan kita belum selesai.” Kata Ade.
“Ya, urusan kita belum selesai.” Kata Dio.
“Dio?” Dio lalu memukulkan tangan robotnya ke Ade dengan keras. Dio lalu
pergi begitu saja. Ade segera bangkit lalu mengeluarkan jurus andalan
terakhirnya. Aryazaky berusaha melindungi kami, tetapi jurus itu mampu
menghancurkan pelindung super kuatnya Aryazaky. Sehingga Aryazaky terpental
jauh. Reswara menyadari bahwa rumput yang terbakar memiliki sumbu tersembunyi
yang mengarah kepada bom yang sudah ditanam di dalam kayu di setiap pohon di
area itu. Reswara, Agil, Julia, Edsa, dan aku segera melarikan diri tanpa lupa
membawa jasad Raka, Aryazaky, dan Sultan.
“Pengecut kalian!” belum sempat menjurus lagi, bom-bomnya sudah meledak
dan menghancurkan daerah itu.
Epilog
Upacara pemakaman Raka, Sultan, Nazar, dan Aryazaky diringi isak tangis
yang mendalam terutama Edsa yang menangisi Raka. Kami pun memberi penghormatan
terakhir untuk mereka. Semua orang yang menjadi korban Ade sembuh kembali. Dunia
mulai membangun kembali diri sendiri. Dan untuk pertama kalinya, Deklarasi Part
diresmikan!
“Dunia seperti ini ternyata yang dimaksud Nazar.” Gumamku.
Hanya tinggal 10 hari lagi menuju pesta pernikahanku dengan Julia.
TheEnd