Cari Blog Ini

31.1.16

[#1]Untitled…

                Aku masuk ke dalam pipa hijau yang terhubung dengan level lain. Monster aneh berbentuk jamur menghadangku. Aku melompat dan mendarat di atasnya sehingga monster itu gepeng lalu menghilang. Aku hanya harus melompat ke tiang bendera itu. Satu lompatan saja. Hap! Aku berhasil melompat dan bergelantungan pada bendera itu. Benderanya turun perlahan hingga sampai ke dasar. Pintu keluar terbuka. Dan aku dengan santainya berjalan melaluinya.
                Satu malam lagi terlewati tanpa game over. Aku mengarahkan pandanganku pada jam dinding yang terpampang di atas pintu kamarku. AAA jam tujuh! Aku terlambat sekolah! Aku bergegas mandi, menggosok gigi, memakai seragam, mengambil tas dan berangkat dengan mengendarai sepedaku satu-satunya.
                Namaku James. Seorang murid sebuah junior high school ternama di kotaku. Aku ditinggal sendirian di rumahku sendiri. Ibuku wafat 8 tahun lalu, ayahku sedang keluar negri untuk beberapa bulan. Aku bisa bertahan karena aku menemukan sebuah harta warisan di bawah lantai kayu kamar ayahku beberapa hari setelah kepergian ayahku. Aku tidak memiliki tetangga. Mereka semua telah pindah sejak lama. Suasana gang rumahku sangat sunyi dan sepi. Soal mimpiku, ya, aku sering bermimpi tentang game. Mulai dari yang jadul sampai yang masa depan.
                Sesampainya di sekolah, gerbang utama sekolah telah ditutup. Memang jika sudah diatas jam tujuh, gerbang sekolah akan ditutup. Namun itu bukan berarti aku tidak bisa masuk. Aku pun memutar balik dan menuju ke belakang sekolah. Terdapat pintu kecil yang bisa dimasuki sepedaku. Aku beruntung pintu itu tidak terkunci. Aku pun memarkir sepedaku lalu berlari sambil merunduk supaya tidak terlihat oleh guru yang berada di ruang guru. Aku menaiki tangga menuju lantai dua. Dan menunggu di perpustakaan hingga guruku yang mengajar saat itu keluar kelas dan turun ke ruang guru. Saat itulah aku masuk kelas.
                Aku pergi ke sekolah dengan satu tujuan, yaitu supaya aku tidak ditandai “tidak masuk” di buku absensi kelas. Setelah itu, pekerjaanku hanya bermain game. Guruku seperti tidak peduli padaku dan aku tidak memperdulikannya. Cara mengajarnya membuatku saaaaangaat bosan. Tidak jarang juga teman-temanku tertidur karena cara mengajarnya yang menurutku kurang professional. Nilai? Jangan tanya.
                Sepulang sekolah aku langsung tidur-tiduran. Aku membuka laptopku, menancapkan modemku dan membaca berita tentang peluncuran game baru. Ada yang baru saja dirilis beberapa menit lalu. Langsung saja aku unduh. Tidak lama kemudian, aku sudah menamatkan game itu, memahaminya, dan menemukan hal-hal tersembunyi dan cara curang yang langsung aku tulis dan publikasi di blog milikku.
                “Ah… hidup ini membosankan.” Aku menatap langit-langit kamarku. Lalu aku memejamkan mata dan membukanya kembali. Ada angin kencang dan suara pesawat tempur berlalu-lalang di atas rumahku. Lalu BOOM! Sebuah helikopter menghilangkan atap rumahku lalu sebuah rudal mengejarnya hingga kena. Kaki robot raksasa menghancurkan meja belajarku. Tiba-tiba aku berpakaian seperti tentara.
                “Oh tidak, kenapa mimpi lagi? Aku tertidur?” ujarku seraya bangun dari tempat tidur. Aku berjalan keluar rumah dan menemukan senjata-senjata modern seperti bambu runcing. Aku segera mengambilnya dan berlari mencari jalan keluar dari mimpi ini. Di dalam mimpi ini, rumahku yang awalnya berada di pinggir kota yang kumuh berubah menjadi padang pasir berbatu yang sangat luas. Aku tidak bisa melihat ujungnya. Makhluk aneh yang sepertinya berbahaya melompat tinggi ke arahku. Aku tidak boleh mati disini. Aku takut jika aku mati disini, aku akan mati di dunia nyata. Aku pun menusukkan bambu runcing ini dan lari. Tiba-tiba terdengar suara.
                “Prajurit, tugasmu adalah melindungi markas selama sehari penuh, lalu kalian harus cepat-cepat kembali ke markas.” Lalu terjadi gempa sementara. Sebuah bendungan raksasa muncul dari dalam tanah di ujung padang pasir.
                “Apa ini? Terrain generation?” sekarang aku bisa melihat ujungnya. Sebuah kota bergaya futuristic.
                Baiklah kalau begitu, mari kita selesaikan permainan ini! Aku melihat semua monster mengubah arahnya ke markas. Aku mengambil semua senjata yang aku temukan di arena. Aku menggunakannya untuk bertarung melawan monster-monster aneh yang terus spawn bersama NPC tentara lain. Seandainya aku bisa bermain dengan kawan-kawanku seperti ini. Satu hari dalam game telah berlalu. Aku masuk ke dalam markas dan mendapati adanya portal. Aku pun masuk ke dalamnya. Aku berada di sisi lain dari markas, di pinggir hutan. Oh, ini level selanjutnya.
                “Selamat prajutit, kamu berhasil menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang, kamu harus membersihkan area ini dari musuh. Semoga berhasil.”
                Baiklah, boleh juga. Aku menembak salah satu NPC yang menaiki kendaraan. Lalu aku mencuri kendaraannya. Sekarang aku tidak perlu berjalan lagi. Beberapa jam sudah. Aku belum menemui musuh satupun. Yang ada hanya NPC yang AI-nya tidak dapat menghindari sebuah pohon.
Tiba-tiba aku terbangun dari mimpiku. Itu berarti game sudah selesai. Tapi, aku terbangun pada tengah malam. Aku ingin tidur kembali. Tetapi tidak bisa. Aku memutuskan untuk mengerjakan pr. Tetapi aku tidak mendengarkan guru jadi aku tidak tahu apa tugas yang diberikan. Aku pun menelepon salah satu temanku untuk menanyakan tentang tugas. Beruntung temanku masih bangun, atau ia terbangun karena aku.
“Hoam… ada apa James?” kata David, teman sekelasku melalui telepon.
“Aku ingin menanyakan tugas yang diberikan guru kita.” Ujarku.
“Ah… merepotkan saja. tunggu sebentar, filenya ada pada komputerku. Akan kukirim melalui e-mail.” Katanya. Aku menunggu beberapa saat lalu…
“Sudah kukirim ke alamat e-mailmu. Cek e-mailbox. Nama filenya Untitled.inf” Ujarnya.
“Terima kasih.” Ujarku.
“Ngomong-ngomong aku juga belum mengerjakannya. Malas nih.” Katanya.
“Baiklah, mari kita kerjakan bersama. “ ajakku.
“Ayo, asal kamu kuat melek.” Jawabnya. Saat pertama menjalankan Untitled.inf, komputerku tiba-tiba error, layarnya retak, dan rumahku berguncang sementara. Lalu, komputerku normal kembali walau layarnya retak. Aku pun segera menelepon David.
“Apa kamu juga mengalami hal yang sama?” tanyaku.
“Ya, namun semua telah kembali normal. Bisakah kita mengerjakan atau aku akan tidur sebelum kamu berkedip.” Jawabnya.
Malam itu sampai fajar tiba, kami mengerjakan soal-soal hingga tuntas. Lalu kami tidur sebentar lalu bangun, sarapan, mandi, menyiapkan buku, menyetrika seragam, memompa roda sepeda, berangkat sekolah, menerobos lampu merah, menumpang pada truk, masuk sekolah lewat pagar belakang, menunggu di perpustakaan, masuk kelas, bermain game. Saat waktu istirahat, aku lebih memilih untuk tetap dikelas sambil melanjutkan game yang aku mainkan. Saat itu aku tidak sengaja mendengar gosip dari teman-temanku yang baru saja kembali dari kantin.
“Hei Audrey, kemarin saat aku membuka tugas dari guru, tiba-tiba komputerku rusak. Ada gempa pula. “ kata Jacob sambil mengunyah permen.
“Benarkah? Karena aku juga mengalami hal yang sama. “ kata Audrey.
“Aku juga mengalaminya!” sahut Kelly dengan lantang sambil membuka bungkus nasi goreng yang baru saja ia beli di kantin.
“Aku dan David juga mengalaminya!” sahutku seraya menghentikan game yang aku mainkan.
“Kamu kan jarang mengerjakan pr.” Kata Jesse. Ia merupaka bendahara kelas, walau menurutku ia tidak memiliki kemampuan dalam bidang itu.
“Halo, lagi bahas apa?” tanya Lucy, Jack, dan Bob. Mereka sahabat sejati. Mereka saling tolong menolong, termasuk dalam ulangan.
“kejadian-kejadian aneh saat membuka file tugas dari guru kita.” Jawabku.
“Maksudmu seperti gempa kecil? Karena aku juga mengalaminya.” Sahut Sarah.
“Ya.” Jawab kami.
“Kira-kira kenapa ini bisa terjadi?” tanyaku mengajak diskusi membuat mereka semua berpikir.
“Bagaimana kalau kita tanyakan langsung ke Mr.Robin, guru kita yang memberi tugas ini. Atau kita bisa bertanya langsung pada kepala sekolah.” Kata Jack mengutarakan pendapatnya.
“Baiklah anak-anak mari kita mulai pelajarannya.” Suara ini sontak membuat kami terkejut dan langsung duduk di tempat masing-masing. Aku menutupi wajahku dengan buku tulis kotak-kotak kosong. Itu suara guru perempuan.

“Maaf, hari ini dan seterusnya Mr.Robin tidak akan pernah bisa mengajar kalian selamanya. Jadi, aku yang menggantikannya.” Kami bengong. Apa kau bercanda? Selamanya?

30.1.16

THE COGANS - Part 5

“Astaga! Makhluk apa itu?” tanya Sultan.
                “Itu Bagus.” Jawab Raka.
                “Akhirnya kamu menampakkan wujud aslimu.” Ujar Reswara.
                Aku melihat Ade yang masih berdiri di tempatnya semula. Lalu aku mencakarnya. Secara otomatis jari tanganku yang akan digunakan untuk mencakar memanjang dengan sangat cepat sehingga menimbulkan kerusakan yang serius pada gedung itu. Ade hanya tersenyum lalu tertawa sinis.
                “Hanya itu kemampuanmu?” tantang Ade.
                “Sekarang giliranku. Sign-ers, SERANG!” lanjutnya.
                Aku mengayunkan tanganku untuk menghancurkan mereka. Aku rasa, dalam bentuk tubuh yang seperti ini, mereka sangat mudah untuk dikalahkan. “Sepertinya aku harus turun tangan.” Kata Ade. Sebagian dari Sign-er sangat kuat. Sebagian lagi sangat lemah. Masing-masing memiliki kelebihan sendiri.
                Ade sendiri memiliki kekuatan gelombang bunyi. Ia mengambil posisi, menjulurkan tangannya, lalu BAM! Aku terlontar beberapa ratus meter jauhnya. Bangunan lain yang menghadang tidak cukup kuat untuk menahanku. Bunyi yang dihasilkan Ade sangat keras sehingga seluruh kaca yang berada di dalam radius satu kilometer pecah seluruhnya. Raka dan Sultan yang memakai penutup telinga saja, telinga mereka sudah bercucuran darah.
                Ya, dalam tubuh ini, aku hanya mengandalkan pengelihatan. Aku tidak bisa mendengar apa-apa sejak tadi. Aku kehilangan banyak duri dan kayu sebagai penyusun utama tubuhku. Karena aku lemah, regenerasiku lamban. Aku pun bangkit dan ingin membalas Ade. Sebelum aku bangkit, aku melihat Edsa. Ia sedang merampok bank dan mendapat banyak sekali harta. Matanya ditembak polisi setempat ketika ia akan kabur sehingga ia terjatuh. Namun, matanya masih berwarna abu-abu. Aku berkesimpulan perampokan itu bukan perbuatannya. Ada yang mengendalikannya.
                Aku pun membawa Edsa denganku. Aku melindunginya di dalam genggamanku. “Aku janji akan membawamu kembali kepada Raka.” Gumamku dalam hati.
                “Hah, dia tidak ada apa-apanya.” Ujar Ade.
                “Tetapi jangan meremehkannya. Hanya ada 2 orang dari ras Bit yang tersisa di dunia.”
                “Aku tidak peduli, aku ingin kekuatannya diekstrak sesegera mungkin!” Perintah Ade.
                “Baiklah tuanku.”
                Para Sign-er melakukan tugasnya dengan baik, yang berarti buruk bagiku. Mereka lebih kompak dari biasanya. Tiba-tiba terdengar suara bisikan misterius itu lagi. “Biarkan aku membantumu.” Aku mengiyakan karena aku ingin cepat-cepat bertemu Raka yang sepertinya sudah terbang jauh meninggalkanku. Seketika itu tubuhku menyerang mereka secara membabi buta, liar, tanpa memedulikan apa yang aku hancurkan. Aku berusaha kembali melukai Ade sekali saja.
                Sign-er membuat tembok es? Hancur luluh. Aliran listrik? Tidak berbekas. Menembakkan rudal? Baiklah yang ini terasa sakit. Mengirim robot raksasa untuk menyerangku?
                “Hei ini tidak sepadan!” gumamku dalam hati. Aku berusaha memotongnya. Tetapi kayu masih kalah dengan besi sehingga tangan kirikulah yang hancur. Aku tidak akan menggunakan tangan kananku. Karena Edsa terbaring didalamnya, ia membutuhkan penanganan medis sesegera mungkin. Aku sendiri, saat itu sedang kewalahan diserang bertubi-tubi. Aku berharap keajaiban berpihak kepadaku. Tubuh monsterku sudah mencapai batasnya dan ukuran tubuhku kembali normal. Aku sudah tidak mampu merangkak, apalagi berdiri. Tetapi pada saat itu para Sign-er malah berhenti menyerangku. Mereka berfokus pada masalah lain.
                Aku melihat keajaiban. Keajaiban rantai-rantai raksasa tiba-tiba mengekang para Sign-er satu per satu. Keajaiban gedung yang tiba-tiba runtuh menimpa robot raksasa itu. Sayang sekali sepertinya keajaiban itu tidak berpihak padaku. Aku juga ikut terikat rantai tersebut.
                Tidak lama kemudian datanglah seseorang. Ia mengecek dan mengambil semua barang yang ia perlukan dari para Sign-er itu. lalu ia membunuhnya. Saat giliranku, ia merogoh-rogoh saku celanaku tanpa melihat wajahku. Didapatinya satu buah dompet kosong yang hanya berisi tanda pengenalku. Ia mengacungkan pistolnya ke arahku. Namun, setelah membaca tanda pengenalku, ia menyimpan kembali pistolnya. Saat itu aku sangatlah lemah dan belum bisa menggerakkan sebagian tubuhku. Giliran Edsa tiba. Ia hanya mengambil beberapa batang emas hasil rampokan. Lalu ia mengubahnya menjadi sebuah pisau. Ya, aku melihatnya sendiri. Ia mengubah bentuk logam mulia itu menjadi sebuah pisau multifungsi. Tiba-tiba sebuah ingatan melesat masuk ke dalam pikiranku.
                Sebuah hiburan untuk kami. Terdapat orang tua yang seorang pesulap. Ia menghibur kami dengan salah satu sulapnya.
                “Aku butuh seorang suka rela wan.” Tidak ada yang mengangkat tangan.
                “Bagaimana denganmu, anak muda?” ujarnya sambil menunjukku.
                “Maju aja, nggak papa.” Kata orang yang duduk disampingku. Lalu aku memberanikan diri dan segera naik panggung.
                “Baiklah anak muda, mari kita mulai. Sebelum itu, siapa namamu?” tanya orang tua itu.
                “Bagus.” Jawabku.
                “Bagus, semuanya perhatikan parang ini. Berbahaya bukan?” tanya orang tua itu. Penonton hanya mengangguk tanda setuju.
                “Bagaimana jika parang ini aku tebaskan pada anak ini di hadapan kalian?” tanya orang tua itu membuat penonton makin penasaran. Lalu orang tua itu menebaskan parang itu ke sekujur tubuhku secara cepat. Tanpa mengenaiku. Hal itu mengundang decak kagum para penonton yang hadir termasuk aku sendiri.
                Ketika semua penonton telah bubar, orang tua itu mengajakku ke belakang panggung. Ia memberitahukanku rahasia trik sulapnya. Kali ini ia menebasku secara perlahan. Dan ajaib! Bagian parang yang akan terkena tubuhku meleleh dan bersatu kembali ketika jaraknya cukup jauh dengan tubuhku.
                “Aku mampu mengubah bentuk segala jenis logam.” Lanjutnya.
                Ia membebaskanku dari kekangan rantai. Ia adalah pesulap itu.

Part 4

                Ketika aku sudah benar-benar pulih, aku membebebaskan Edsa dari ikatan rantai.
“Dimana aku?” Edsa yang mata kanannya tertembak itu, bisa berbicara dan berpikir secara normal kembali. Matanya tidak lagi berwarna abu-abu. Ia bisa bergerak seperti dirinya yang dulu lagi.
“Bagus? Dimana Raka?” itulah pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut Edsa setelah siuman.
“Ouch!” Edsa berusaha mengedipkan matanya. Lalu Edsa memegang mata kanannya yang sudah rusak tertembak. Tetapi tidak ada peluru bersarang di matanya. Aku pun segera menyobek bagian bawah kausku untuk membuat perban alternatif untuk menutup mata kanannya Edsa. Lalu aku melilitkannya pada Edsa.
“Terima kasih.”
Aku melihat sekelilingku lalu berkata.
“Aku tahu dimana Raka.” Aku tahu karena aku dan keluargaku sering berlibur ke sini. Tentu aku tahu sebagian besar daerah ini. Yang aku lihat sekarang sudah sangat berbeda dengan yang dahulu.
“Benarkah?”
“Ya. Ayo ikut aku”
Jalanan sepi dan gelap. Hanya lampu jalan yang sudah roboh dan kadang-kadang mengeluarkan percikan api dari dalamnyalah yang menerangi jalan. Kaca-kaca jendela pecah. Gedung-gedung yang berlubang karena ledakan. Edsa berada tepat di belakangku. Aku berjalan lebih jauh dan lebih cepat. Tiba-tiba, suara piring pecah mengejutkanku. Aku menengok ke arah suara itu. Rupanya itu adalah seorang Sign-er yang sedang mengobrak-abrik sebuah minimarket di pinggir jalan. Aku lekas sembunyi. Namun rupanya ia lebih cepat menyadari keberadaanku. Ia bejalan perlahan sambil menyeret pedang besarnya.
“Lari!” kami pun berlari secepat mungkin untuk menghindarinya. Ia mengayunkan pedangnya setinggi leherku.
“Merunduk!” kami pun segera merunduk. Pedang itu hanya beberapa milimeter lagi untuk mengenai ujung rambutku. Aku berbalik dan menendang pedangnya sehingga ia terpental. Kami pun berhasil lolos darinya.
“Aku pikir kita berhasil lolos.”
“Syukurlah.” Kata Edsa.
“Kita harus mencari tempat untuk berlindung.”
“Aku kangen Raka.” Kata Edsa.
“Kita akan segera tiba di sana. Semoga saja” hanya tinggal melewati kota, memutar di kaki gunung, menyebrangi jembatan, dan melaut dari teluk dan berlabuh di pelabuhan harbor. Aku tidak dapat menjamin. Tetapi usaha tetap diperlukan. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Tidak lama kemudian, aku menemukan tempat yang cocok untuk bermalam. Ada sebuah apartemen yang rusak tetapi masih layak huni. Aku pun masuk dan naik ke lantai 2. Aku mendobrak salah satu pintu kamar hingga terbuka. Sementara Edsa mengambil kunci kamar dari meja reseptionist lalu membuka pintu kamar lain dengan normal. Aku tidak tahu apa yang Edsa lakukan, aku hanya berfokus mengambil barang-barang yang aku perlukan, seperti makanan, minuman, tenda, dan sebagainya. Lalu aku segera pergi tidur.
Keesokan harinya, aku segera bangun lalu mandi dan bersiap-siap. Lalu aku keluar kamar dan mendapati Edsa sedang duduk menunggu.
“Kapan kita berangkat?” tanya Edsa.
“Sekarang.” Jawabku. Kami pun berangkat. Pertama kali keluar ke jalan, kami sudah mendapati jalanan yang retak dan membentuk jurang yang sangat dalam.
“Apapun penyebabnya, ini pasti tidak bagus.” Ujarku.
Benar saja, saat kami menyusuri retakan itu, kami menemukan lubang yang sangat besar dan dalam di tengah-tengah kota. Entah apa yang terjadi. Kami pun melanjutkan perjalanan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Hari itu sangat terik dan menyilaukan. Bekal yang kami bawa mulai kritis. Air, makanan, semua harus dihemat.
Sesampainya di pinggir kota, tepatnya di dalam area pertanian pak Bon yang sudah sepi dari manusia maupun hewan ternak, sudah terlihat pegunungan yang menutupi jembatan layang terpanjang di dunia. Memang masih sangat jauh, tetapi sudah tercapai lebih dari seperempat perjalanan. Hari mulai senja. Kami pun terpaksa bermalam dengan mendirikan tenda di tempat ini.
Aku tidak tidur semalaman. Menjaga agar tidak ada musuh mendekat. Dan tidak ada tempat lagi di dalam tenda. Malam itu sangat sunyi. Kota tidak terlihat indah lagi. Para Sign-er tengah membangun markas lagi di tengah-tengah kota. Aku tidak tahu bagaimana nasib seluruh penduduknya. Berjam-jam kulalui dengan rasa bosan dan kantuk. Sesekali aku memejamkan mata dengan harapan dapat mengurangi rasa kantuk tanpa tertidur.
Fajar telah tiba. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air. Aku pun mencari tempat yang aman untuk buang air. Setelah kembali, Edsa menghilang. Aku pun mencarinya. Tidak terlalu jauh dari tenda, aku menemukannya. Ia sedang berjalan-jalan di sekitar kaki gunung sambil bercakap-cakap dengan orang asing. Aku pun memanggilnya.
“Hooy!”
Panggilanku berhasil, mereka berdua menengok ke arahku. Karena merasa penasaran, aku mendatangi mereka. Itu orang yang sama yang menyelamatkanku dari serangan Sign-er. Orang yang ada dalam ingatanku. Tiba-tiba ia menatapku tajam lalu berkata.
“Aku yakin ini pasti ini milikmu. Wahai sang warisan.” Ucapnya sambil mengembalikan dompetku. aku termenung sejenak. Lalu aku terdiam.
“Ayo, ikut aku.” lanjutnya.
“Ikut aja. Ia dapat membantu kita.” Ucap Edsa. Kami pun mengikutinya sampai ke sebuah gua yang sangat terpencil dan menakutkan.
“Masuklah.” Aku masuk tepat setelah sebuah tentakel hitam raksasa tiba-tiba muncul di tengah-tengah kota. Menghancurkan markas Sign-er yang sudah hampir berdiri tegak. Disertai dengan tembakan rudal-rudal dari tank-tank milik para Sign-er.
Gua yang jalannya seperti labirin itu sangat dalam. Sehingga kami harus berhati-hati. Kami terus mengikuti orang itu hingga kami mencapai jalan buntu. Jalan itu tertutup baja yang tebal, tetapi orang itu dapat membuka jalan dengan mengubah bentuk baja itu menjadi pintu. Setelah pintu itu, terdapat ruangan-ruangan yang meliuk-liuk saling terhubung satu sama lain. Ia pun menyalakan lampu minyak yang ditempel di setiap sudut ruangan.
“Berbaring!” kata orang itu kepada Edsa.
“Apa yang akan kau lakukan padanya?”
“Diamlah!” bentak orang itu. Kulihat orang itu membuka ikatan kain yang berguna sebagai perban dari Edsa. Ia meraih meja besi dengan peralatan berbahaya diatasnya. Ia mengambil sebuah pisau kecil dan mencoba menusukkannya ke bola mata Edsa. Aku pun menghentikannya.
“Sedang apa kau?” Ujarku sambil memegangi tangannya.
“Kamu! Diam saja!” sahutnya.
“Tidak” ujarku.
“lámhaigh síos!” Ucapnya. Seketika itu juga tiba-tiba muncul rantai yang mengikatku lalu menarikku sehingga terikat di langit-langit ruangan dengan rantai beraura putih.
“Tidak!, aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi!” ujarku.
“Siapa yang ingin menghilangkan?” sahutnya. Lalu ia pun melanjutkan pekerjaannya.
Beberapa jam berlalu, akhirnya ia sudah selesai. Edsa bangun dengan perban baru. Aku dilepaskan dari rantai lagi. Aku pun segera bertanya kepada Edsa.
“Apa yang ia lakukan padamu? Aku tidak bisa melihatnya tadi.”
“Hanya menbersihkan infeksi lalu memberi perban.” Jawabnya.
“Benarkah?”
“Ya”
“Lalu dimana ia sekarang?”
“Di mulut goa”
Aku pun pergi ke mulut goa meninggalkan Edsa sendiri. Aku mendapatinya sedang duduk di batu tepian goa. Aku pun perlahan mendekatinya. Lalu duduk di sampingnya. Tiba-tiba ia berkata.
“Seandainya dunia ini masih seperti dahulu.”
“Dunia seperti apa?” tanyaku.
“Dunia ketika semua ras saling rukun dan menghormati. Lihat duniamu sekarang.” Jawabnya.
“Ras?” tanyaku lagi.
“Ya, ras. Ras apa sajalah, ras Anim, Imagi, Elemental, apa saja.” Jawabnya. Lalu ia menjelaskan tentang sejarah munculnya berbagai ras di bumi.
“Ras pertama yang muncul adalah ras Anim. Berawal dari seorang penggembala yang belajar untuk menjinakkan semua hewan. Yang kedua adalah Imagi. Mereka memiliki imajinasi yang sangat kuat sehingga dapat menjadi nyata. Yang ketiga adalah Elemental. Sementara ras-ras yang muncul selanjutnya merupakan pengembangan dari ketiga ras dasar ini.” jelasnya.
“Perubahanku menjadi raksasa mungkin ada hubungannya dengan ini.” Pikirku.
“Oh iya, aku belum tahu namamu.” Kataku.
“Nazar. Nazar Farhana Cakra Bimantara.” Jawabnya sambil bersalaman denganku.
Setelah itu, Nazar mengajakku dan Edsa pergi ke kota karena ia mulai kehabisan bahan makanan. Bukan kota dari arah kami berasal, namun melewati jembatan. Setibanya kami disana, jembatan itu sudah rusak parah. Dengan kapal yang sudah setengah tenggelam di tengah-tengah jembatan. Kami berusaha menyebrangi jembatan.
“Awas! Itu bekas cairan asam.” Kata Nazar. Kami pun lebih berhati-hati supaya sepatu dan sandal kami tidak terkikis asam.
“Tunggu! Asam ini baru. Ia ada di sekitar sini. Tetap waspada!” kata Nazar. Kami pun lebih berhati-hati lagi. Setengah perjalanan menyebrangi jembatan terlalui begitu saja. Namun, saat kami hampir sampai ke ujung jembatan, ia menampakkan diri. Seorang Sign-er dengan enaknya menyemburkan asam ke arah kami dari mulutnya. Untung saja kami berhasil menghindar. Edsa mengeluarkan senjata api lalu bersiap untuk membidik dengan satu mata lalu menembak.
“Jangan!” teriakku kepada Edsa sehingga tembakannya meleset. Hampir saja peluru itu menembus perut Sign-er itu yang penuh dengan asam. Aku mengingat cara untuk menyembuhkan Edsa. Aku pun berlari ke arah Sign-er itu. Melompat, menusuk mata kanannya dengan pisauku, lalu mendarat sempurna di belakangnya.
“Semua tidak apa-apa?” tanyaku.
“Kami tidak apa-apa.” Jawab mereka.
“Apa, dimana aku?“ kata Sign-er itu sambil menutup mata kanannya yang sedang bercucuran darah dengan tangannya.
Caraku berhasil, ia sembuh. Ia menjadi normal kembali.
“Siapa kalian?” tanyanya.
“Aku Bagus. Ini Edsa dan itu Nazar. ” jawabku.
“kalian bukan orang yang merusak tempat tinggalku secara brutal kan?” tanyanya lagi.
“Bukan. “ jawabku.
Kami pun segera memberinya pertolongan pertama di tempat itu juga.
“Terima kasih. Namaku Agil. Agil Sifak Fahmi.” Ujarnya.
“Maukah kamu ikut dengan kami?” tanya Nazar kepada Agil.
“Sayang sekali tidak. Aku harus tetap di sini menjaga daerah ini.” Jawab Agil.
“kotamu sudah hancur selama kamu tidak sadar. “ kata Nazar.
“Benarkah?” lalu Agil seperti terburu-buru berlari ke arah kota yang sudah rusak itu.
“Haruskah kita mengejarnya?” tanya Edsa.
“Tidak.” Jawabku.
“Lebih baik kita melanjutkan perjalanan.” Kata Nazar.
Sesuai perintah Nazar, kami pun melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di tengah kota, secara kebetulan, kami bertemu Raka. Edsa sontak langsung berlari sambil menangis ke arah Raka lalu memeluknya erat-erat. Raka pun juga begitu.
“Raka…”
“Edsa…”
 Entah mengapa Nazar tiba-tiba menyerang Raka. Raka berhasil menghindar ke tempat yang tidak bisa dijangkau Nazar. Aku pun langsung melindungi Raka.
“Kau ini kenapa?” tanya Raka kepada Nazar.
Nazar terlihat semakin geram.
“DASAR RAS TAK TAHU DIRI!” bentak Nazar kepada Raka.
“IKKE!” tiba-tiba, gedung-gedung pencakar langit yang nazar lihat terlontar ke udara.
“Tidaak! Jangan kau rusak kotaku!” kata Agil sambil berlari cepat dan menerjang Nazar hingga Nazar dapat menembus tembok bata. Lalu kami mengikatnya.
“Akhirnya kita bertemu lagi.” Kata Raka.
“Dimana Reswara dan Sultan?” tanyaku.
“Sebentar lagi mereka akan datang.“ jawab Raka.
Lalu samar-samar terdengar suara helikopter. Suara itu makin keras, makin keras, dan keras. Lalu.
“EVAKUASI! EVAKUASI SEMUA ORANG! SELAMATKAN DIRI KALIAN!” suara teriakan Reswara terdengar begitu jelas. Tiba-tiba, muncullah helikopter yang dikendarai oleh Reswara dan Sultan diikuti dengan pasukan Sign-er yang sangat banyak.
“LARI! LARI! LARI!” perintah Raka.
“Bagaimana dengan Nazar?” tanyaku.
“Tinggalkan saja!” kata Agil. Namun aku tidak ingin meninggalkannya. Aku berlari kembali menuju tempat Nazar sekarang. Namun, itu semua sudah terlambat. Aku berbalik arah dan berlari sekencang kencangnya. Aku sudah tertinggal dari yang lainnya. Aku terkepung. Mereka semakin mendekat dan mendekat. Tidak mungkin untuk melawan mereka yang elit dan dalam jumlah banyak. Juga tidak mungkin untuk menyerah. Tiba-tiba,
“Hai Bagus…” semuanya menjadi gelap gulita. Seperti dalam mimpi-mimpi. Saat itu aku hanya dapat mendengar suara teriakan dari orang yang tersiksa. Setelah kegelapan itu sirna, banyak Sign-er yang mati terbunuh. Tapi tidak semua. Jadi, aku masih dikepung. Lalu Julia muncul secara tiba-tiba di sisiku. Kami pun melawan sekuat tenaga sampai kami kehabisan jurus dan tenaga.
“Butuh bantuan?” seorang pemuda tiba-tiba muncul dibelakangku menawarkan bantuan. Belum sempat aku menjawabnya, ia sudah menghilang lagi. Seketika itu juga para Sign-er yang mengepung kami dikurung dalam kotak-kotak. Kotak-kotak itu makin lama makin mengecil sampai isi dari kotak itu benar-benar hancur. Para Sign-er yang terkurung mencoba keluar dari kotak itu. Tetapi mereka tidak bisa keluar walau yang elit sekalipun. Lalu pemuda itu muncul lagi.
“Tidak perlu berterima kasih.” Pemuda itu memiliki mata hijau terang menyala dan tanda khusus di tangannya.
“Siapa namamu?” tanya Julia sambil menggigit mata pisau yang berlumuran darah.
“Perkenalkan, namaku Aryazaky.” Jawab pemuda itu. Julia mencoba menusuk Aryazaky dengan pisau yang tadi digigitnya. Tetapi tembus dan malah mengenai tanganku.
“Percuma saja, tubuhku bersifat seperti hologram.” Kata Aryazaky.
“Akh… “ aku hanya menahan sakitnya tanganku.
“Akan aku berikan informasi yang mungkin berguna bagi kalian. Dengarkan ini.” Lalu Aryazaky memainkan tape recordernya. Yang berbunyi…
“Aku sudah tidak membutuhkanmu!”
“Sejak kita masih anggota The Cogans, sampai kamu sukses seperti sekarang ini. Akulah yang membantumu dan mendukungmu selama ini. “
“Sahabat sudah tidak berguna! Aku punya harta, kekuasaan, dan banyak pengikut!”
“Jika ini maumu wahai sahabatku. Baiklah.”
“Bagaimana?” tanya Aryazaky.
“Aku sepertinya mengenal suara itu.”
“Begitu pula aku. Aku mengenal mereka berdua.” Kata Julia.
“Siapa mereka?” tanyaku.
“Ade dan Dio, sahabatnya.” Jawab Julia.
“Seratus! Baiklah, aku permisi dulu ya.” Kata Aryazaky sebelum menghilang lagi. Aryazaky meninggalkan rekaman itu. Jadi, aku bawa saja. Julia menatapku manis, lalu ia membuat pengelihatanku menjadi gelap gulita. Saat kegelapan sirna, aku sudah berada di markas baru Reswara. Markas itu masih sepi, karena Reswara, Sultan, maupun Raka belum ada yang sampai. Aku tebak aku pemenangnya. Beberapa saat aku menunggu. Akhirnya mereka sampai.
“Hei Bagus, kemana saja kamu?” tanya Reswara.
“Bukankah kamu yang meninggalkanku?” jawabku.
“Masalah itu, kami harus meninggalkanmu.” Jawab Reswara.
“Reswara, apakah kamu tahu orang ini?” tanyaku sambil menunjukkan rekaman suara yang ditinggalkan Aryazaky.
“Mmm… ayo kita cari.” Jawab Reswara. Setelah beberapa lama, akhirnya ketemu.
Dio adalah satu dari dua pemilik pabrik senjata paling besar di masanya. Yang kedua adalah Maharduta. Atau bisa dipanggil Duta. Duta ditemukan meninggal terikat di kursi di pabrik senjatanya sendiri. Sementara Dio menghilang secara misterius bersama semua senjata unggulan buatannya. Pabrik itu sekarang telah digusur lalu dibangun perumahan di atasnya. Semua barang peninggalan pabrik yang tersisa dipindahkan ke museum dalam rangka mengenang tragedi mengerikan yang terjadi setelahnya. ~ In memorial The Cogans.
“Ayo berangkat!” kataku bersemangat. Reswara sepertinya mengetahui maksudku. Ia mengikutiku dari belakang. Reswara menerbangkan helikopter sementara aku menjadi penumpangnya. Kami menuju ke pusat penyimpanan berkas museum. Tidak butuh waktu lama, kami sudah menemukan apa yang kami cari. Sebuah buku diary milik Maharduta Adiwijaya. Salah satunya berbunyi…
Bertahun-tahun lalu, hanya ada 1 ras, yaitu ras manusia. Namun, sejak adanya peperangan berdarah, ras manusia terpecah menjadi beberapa ras lain. Setiap ada peperangan, masing-masing ras akan terpecah belah menjadi beberapa kelompok. Mereka yang menyadari adanya perpecahan yang terus menerus memutuskan untuk mendamaikan dunia dengan “Deklarasi Part” atau Deklarasi Perdamaian Antar Ras Terpisah. Sayang sekali, usaha itu gagal. Suatu saat, ada seseorang yang mencetuskan berdirinya organisasi The Cogans sebagai tempat perkumpulan antar ras. Namun, ada orang yang melihat celah kecil di dalam The Cogans yang dapat dimanfaatkan untuk menguasai dunia. Orang itu pun bergabung dalam The Cogans. Suatu hari, sang pendiri The Cogans melihat kegelapan di dalam hatinya. Tetapi ia tidak membunuhnya, melainkan hanya mengusirnya. Orang itu  memiliki sahabat yang merupakan orang terpercaya. Ia memanfaatkannya sebagai “orang dalam”.

Part 5

2 bulan kemudian…
“Apakah kau masih ingat? Dahulu, The Cogans adalah gang terkeren sepanjang masa. Setidaknya sampai aku dikhianati!” kata Ade.
“Justru kaulah penghianatnya! Kau memanfaatkan mereka demi kepentinganmu yang tidak terpuji sama sekali!” kataku.
“The Cogans akan berakhir hari ini!” Ade menembakkan bunyi yang sangat kuat ke arahku.
“Tidak akan!” Aryazaky menghalangi serangannya menggunakan pelindung transparan.
“Biting no jutsu!” teriakku sambil menunjuk ke arah Ade. Lalu biting-biting mulai berhamburan dengan kecepatan tinggi mengikuti Ade.
“Bass!” kata Ade. tiba-tiba gendang telingaku robek dan berdarah.
“Sword!” tanganku langsung berubah menjadi pedang kayu yang tidak dapat diremehkan walau hanya kayu. Aku berlari sekencang mungkin dibantu oleh Agil. Lalu aku mengayunkan pedangku dengan harapan aku dapat menebas Ade. Ade menghindar dan memukul perutku dengan sangat keras. Pinggangku robek. Aku terpental sangat jauh. Sultan berusaha menembak Ade dari helikopternya. Agil mengubah cuaca dan memusatkan sambaran petir pada Ade. Aryazaky membatasi area sekitar dengan kekuatannya supaya para Sign-er tidak bisa masuk dan Ade tidak bisa keluar. Edsa dan Raka merakit jebakan. Reswara membantu Aryazaky. Julia masih dalam perjalanan kemari. Aku tidak akan diam saja ketika teman-temanku berusaha melawan Ade. Aku akan ikut melawan!
Tiba-tiba helikopter Sultan tertarik jatuh ke arah Ade. meledak sehingga melontarkan Agil. Lalu tiba-tiba Ade dapat terbang dengan api. Oh tidak, Ade mengambil kekuatan Sultan. Ia menunjukkan kemarahannya padaku. Menembakiku dengan bola api. Aku membalas dengan…
“Biting tsunami!” lalu muncullah ombak besar yang terbuat dari biting siap menerjang Ade. sayang sekali Ade membakarnya. Lalu Ade berubah kekuatan. Kali ini ia menjadi pengendali besi dan api sekaligus. Kami sempat beradu pedang. Ia lebih banyak melukaiku ketimbang aku melukainya. Sabetan terakhirnya memotong tangan kiriku. Aku merasa lemas karena mulai kehabisan darah.
“Lihat ini, The Cogans sekarang akan punah kembali!” kata Ade dengan begitu percaya dirinya menginjak kepalaku. Aku pun berontak dan menyerang Ade sekali. Namun Ade berhasil menghindar lalu ia langsung menusukku dengan besi. Besi itu tertancap dalam tanah. Ade memegang besi panas di tangannya. Siap mengeksekusi diriku. Aku memejamkan mataku. Aku akan kalah.
“Harus kuakui, kau sumpit yang membandel.” kata Ade. “Sekarang, RASAKANLAH!” Ade menusukkan besi panas itu.
Aku membuka mata. Aku melihat Raka berdiri di depanku menahan serangan Ade. Besi panas menembus jantungnya dan hampir mengenaiku.
“R… Raka?”
“Tidak mengapa, kaulah sahabat terbaikku.” Raka tersungkur kaku dengan sebagian tubuhnya hancur terbakar. Edsa yang melihatnya langsung menangis histeris sejadi-jadinya.
“T… Tapi mengapa?” aku memandangi Raka untuk beberapa saat. Aku tidak bisa membendung air mata dan amarah ini.
“Sekarang giliranmu!” kata Ade sambil menunjukku. Aku ingin melawan, tetapi Reswara mencegahku. Ia malah menyuruh untuk mundur.
“Kenapa? Kau tidak berani?” kata Ade sambil mempercepat langkahnya.
“Tenanglah, Raka itu pintar. Tentu saja ia memiliki rencana.” Kata Reswara.
Ade tiba-tiba berhenti sesaat karena melihat ada benang jebakan di hadapannya. Ia meremehkannya dan memotongnya. Akibatnya, sistem yang dirancang oleh Raka bekerja. Membuat sebuah pelontar dari kejauhan aktif dan melontarkan bola api ke arah Ade. Membuat rerumputan menjadi terbakar. Ade dengan mudahnya menghindar dan tanpa sengaja menginjak jebakan lain yang mengakibatkan sebuah pohon tumbang tepat ke Ade. Namun, sekali lagi Ade dapat menghindar dengan mudah. Rerumputan yang terbakar menjadi semakin luas.
“Hanya ini? Lemah sekali.” Kata Ade dengan sombongnya berjalan. Lalu tanpa sengaja Ade menginjak cairan yang sangat lengket berwarna hitam. Cairan itu merambat dan melilit Ade secara perlahan.
“Mungkinkah itu… “ tebakanku benar. Julia telah kembali. Tetapi kali ini ia mengajak para Demons yang merupakan anak buahnya.
“Hai, nikmatilah mimpi burukmu!” kata Julia sambil tersenyum. Lalu ia melilit kakinya Ade dan membanting-banting Ade ke segala arah. Kebakaran rerumputan makin meluas.
“Teman-teman, kini giliran kalian. Siksalah makhluk ini sepuas kalian. GRATIS!” para Demons melakukan tugasnya dengan baik. Ade tidak diberi ampun maupun kesempatan sedikitpun untuk menyerang balik. Kedua tangan dan kaki Ade ditarik ke arah yang saling tegak lurus. Julia berjalan mendekati Ade lalu berkata.
“Mau kuberi hadiah?” kata Julia sambil tersenyum. Dari mulutnya keluar sebuah pisau panjang. Pisau itu menembus tenggorokan Ade dan membuat rahang bawah Ade terlepas dari tempatnya. Ade pun dibiarkan sekarat di tengah-tengah rumput yang terbakar.
“Baiklah teman-teman, terima kasih atas bantuannya.” Kata Julia sambil mencabut pisau dari tenggorokan Ade. Semua Demons pergi meninggalkan tempat itu. Karena berpikir bahwa keadaan sudah aman, Aryazaky menonaktifkan pelindung raksasanya.
“Aku rasa tugasku di sini sudah selesai.” Kata Julia sambil memainkan pisau.
“Aku tidak akan pernah mengganggumu.” Ujarku sambil sedikit merinding.
“Jika kau menggagguku, kau akan tahu akibatnya.” Kata Julia.
“Selesai sudah.” Kata Aryazaky.
Namun tiba-tiba Ade kembali bangkit walau dirinya sendiri sedang sekarat tanpa rahang bawah.
“Urusan kita belum selesai.” Kata Ade.
“Ya, urusan kita belum selesai.” Kata Dio.
“Dio?” Dio lalu memukulkan tangan robotnya ke Ade dengan keras. Dio lalu pergi begitu saja. Ade segera bangkit lalu mengeluarkan jurus andalan terakhirnya. Aryazaky berusaha melindungi kami, tetapi jurus itu mampu menghancurkan pelindung super kuatnya Aryazaky. Sehingga Aryazaky terpental jauh. Reswara menyadari bahwa rumput yang terbakar memiliki sumbu tersembunyi yang mengarah kepada bom yang sudah ditanam di dalam kayu di setiap pohon di area itu. Reswara, Agil, Julia, Edsa, dan aku segera melarikan diri tanpa lupa membawa jasad Raka, Aryazaky, dan Sultan.
“Pengecut kalian!” belum sempat menjurus lagi, bom-bomnya sudah meledak dan menghancurkan daerah itu.

Epilog

Upacara pemakaman Raka, Sultan, Nazar, dan Aryazaky diringi isak tangis yang mendalam terutama Edsa yang menangisi Raka. Kami pun memberi penghormatan terakhir untuk mereka. Semua orang yang menjadi korban Ade sembuh kembali. Dunia mulai membangun kembali diri sendiri. Dan untuk pertama kalinya, Deklarasi Part diresmikan!
“Dunia seperti ini ternyata yang dimaksud Nazar.” Gumamku.
Hanya tinggal 10 hari lagi menuju pesta pernikahanku dengan Julia.

TheEnd

24.1.16

Cobain nih! Game Arcade Online Gratis! (Update 8 Juni 2016)

Tau Scirra kan? developernya Construct2 game creator. saya coba-coba dan tada!
List game arcade online buatan/editan sendiri... cocok buat kamu yang lagi bosan dan nggak tau mau ngapain. karena game-game berikut ini bisa melipat-gandakan kebosananmu! cek deh...

1. Bird Hunt
bukan game pertama yang aku buat, tapi ini game murni ide saya sendiri. game ini bertema kota siluet. di game ini anda bermain sebagai sniper. tembak burung sebanyak banyaknya. jangan tembak jendela orang. ntar orangnya marah. jangan tembak pesawat. ntar dikira teroris lho... 
Link : 
https://www.scirra.com/arcade/shooting-games/bird-hunt-1821

2. JustJump
oke, ini maunya pingin bikin game platformer kayak mario tapi infinity. lah, jadinya gini. kalau masih nemu bug, ya, itu... emm... nah ini linknya
Link : 
https://www.scirra.com/arcade/tutorial-games/just-jump-1822

3. Autorunner VS PacBoss
entah apa yang aku pikirkan saat membuat game ini, game ini adalah salah satu contoh dari infinite platformer. melaju sejauh-jauhnya sambil melawan boss pacman merah. lawan dengan memantulkan balik rudal yang datang. jika pacboss menyentuhmu, game over. oh iya, jika kamu jatuh, game over. 
Link : 
https://www.scirra.com/arcade/tutorial-games/autorunner-vs-pacboss-4848

4. Impossible 10 Seconds
ini game murni ide saya sendiri. muncul pas lagi di rumah temen saya. game arcade clicker survival ini sangat simpel. misimu hanya satu, yaitu menjauhkan kotak putih selama yang kau bisa dari kotak hitam yang mengejarnya. ada cheat dan powerups nya. bisakah kamu bertahan sampai sepuluh detik?
Link :  
https://www.scirra.com/arcade/tutorial-games/impossible-10-seconds-5028

5. Gunting Batu Kertas
ya, gunting batu kertas sekarang ada gamenya. dapet idenya pas lagi di wc. bonus gamemodes. 
bisa player vs player (tapi harus pc yang sama). player vs Ai. Ai vs Ai. (Ai=dimainkan komputer). nah, coba aja nih...
Link : 
https://www.scirra.com/arcade/multiplayer-games/guntingbatukertas-the-game-5054

6. Dig!
game tentang tambang menambang ini dibuat hanya dalam 2 hari (mulai dari kemaren) dan baru saja jadi. kumpulkan emas sebanyak banyaknya dengan menambang!
Link :
https://www.scirra.com/arcade/tutorial-games/dig-5131

7. GhostRadar
game ini bisa dibilang game horor paling nggak horor. jalan-jalan menyusuri lorong-lorong gelap sambil kabur dari hantu-hantu yang hanya dapat dilihat dengan radar yang setia menemanimu.
Link :
https://www.scirra.com/arcade/tutorial-games/ghostradar-8467

8. Toilet Defense
di dalam game ini pemain berperan sebagai penjaga toilet wanita. tapi, sepertinya bukan hanya wanita saja yang ingin masuk toilet tersebut. cegah para pria masuk ke dalam toilet dan bunuh semua zombie. panggil agen rahasia sampai petani bertraktor untuk membantumu.
Link :
https://www.scirra.com/arcade/shooting-games/toilet-defense-5396

9. Track Tor
di dalam game yang satu ini pemain berperan menjadi supir traktor psikopat yang sedang mengosongkan lahan secara paksa. bunuh semua orang yang menghalangimu!
Link :
https://www.scirra.com/arcade/tutorial-games/tracktor-5524