“Benar
dugaanku. Aku mencurigai saat CCTVnya mati dalam waktu beberapa milisekon
digunakan untuk memindahkan orang orang tertentu saja. Sementara yag lainnya
mengejar Bagus. Tapi mungkinkah mereka keluar dari sana dengan hitungan
milisekon?” ujar Reswara.
“Tapi
aku lihat mereka tidak secepat itu.” Ujarku.
“Tapi
kabar baiknya, aku menemukan sebuah blueprint.”
Kata Raka.
“Biar
aku lihat.” Reswara mengambil dan membuka lebar-lebar kertas biru itu. Kami
mengamatinya baik-baik.
“Mereka
berencana memperluas wilayah kekuasaan mereka dan membuat markas di tempat yang
strategis.” Reswara memahami maksud yang tersembunyi dan mengartikannya untuk
kami.
“Mereka
akan menyerang negara tetangga!” ujar Reswara.
Setelah
mendapat informasi yang cukup, termasuk tanggal penyerangan, Reswara memerintahkan
kami supaya beristirahat lebih awal. Karena kami akan berangkat sebelum fajar
tiba. Aku masih tidak bisa tidur. Sekarang jam 11:02 malam. Aku melihat samping
kanan dan kiriku. Sultan dan Raka sedang tertidur lelap. Aku pergi ke dapur
untuk mengambil minum. Tetapi, aku melihat ruangannya Reswara masih menyala.
Aku mengintip ruangannya Reswara dan mendapati Reswara masih terjaga. Ia sedang
mengerjakan sesuatu dengan laptop, printer, dan komputernya.
“Kenapa
kau masih belum tidur?” Reswara menyadari keberadaanku. Aku terkejut dan
menjatuhkan gelas berisi air yang aku pegang.
“Tidurlah,
biar aku nanti yang bersihkan.” Ujar Reswara. Aku merasa bersalah sehingga aku
segera membersihkan pecahan gelas itu. Reswara melempar bom kecil yang
mengeluarkan gas yang membuatku mengantuk sehingga aku tertidur di tempat.
Dimana
ini? Aku didalam mimpi? Suara apa itu? Asalnya dari balik pintu ini.
“Yah,
tidak”
“Ayolah,
kau dan aku kan sahabat. Mari bekerjasama.”
“Untuk
apa?”
“Aku
muak disini, mari kita ciptakan gang baru! Hanya untuk kita berdua.”
Ada
suara memanggilku dari belakang.
“Bangunlah.”
“CEPAT BANGUN!!!
KITA AKAN TERLAMBAT!!!” Kata Raka sambil memberikanku senjata api, lalu ia naik
ke helikopter. Baling-baling helikopter sudah mulai berputar. Angin yang
membawa debu dari dunia luar menerpaku. Aku pun segera bangkit, lalu berlari ke
arah helikopter yang sudah tidak menyentuh tanah itu, dan naik ke dalamnya.
“Hei tukang tidur,
kau sulit dibangunkan setelah menghirup gasku.” Kata Reswara sambil
memberikanku sebuah naskah. “Lakukan seperti yang ada di dalam naskah!”
lanjutnya. Setelah membacanya, aku tahu kami akan pergi ke mana. Sebuah gedung
yang berfungsi sebagai Trade Center, akan menjadi target SIGN-AI selanjutnya.
Dan kami akan ada disana untuk mencegahnya. LETS DO IT!
Seharusnya kami
sudah sampai di tujuan. Tetapi kami mengalami banyak kendala, termasuk
diantaranya badai yang tidak terduga-duga. Setelah badai reda, barulah Sultan
menyadari bahwa ia kehilangan arah karena badai tersebut membuat radar
helikopter tidak berfungsi sementara. Kami mencong 69o dari tujuan. Sultan
kembali mengatur arah tujuan. Dalam beberapa menit, kami sampai di tujuan. Yang
kami lihat pertama kali saat turun dari helikopter adalah penyerangan sudah
dimulai.
“Kita terlambat!”
kata Sultan sambil menengok ke arahku. Terdengar secara samar-samar banyak
teriakan orang-orang yang panik dari dalam sebuah gedung International Trade
Center yang dibangun kembar berjejer itu.
“Ayo cepat! Cepat!
Cepat!” perintah Reswara sambil buru-buru. Sultan kembali mengudara. Kami
berlari secara sembunyi-sembunyi menuju pintu belakang gedung itu. Sementara
Raka mengikutiku dari belakang.
“Lindungi aku!”
kata Reswara sambil memasang alat seperti kamera mini di panel listrik utama
gedung itu. Kami masih belum ketahuan karena para Sign-er menyerang bagian atap
gedung terlebih dahulu baru kemudian serangan darat. Mereka menggunakan
helikopter yang mirip dengan helikopternya Sultan, sehingga Sultan dapat dengan
mudah membaur sambil membantu mencari Edsa.
“Cepatlah.” Ujar
Raka. Aku melihat salah seorang satpam yang juga memandangiku dengan pandangan
yang aneh. Setelah aku lihat lebih teliti, iris matanya berwarna abu-abu. Raka
langsung menyadarinya dan langsung menembaknya tepat di kepala. Tapi, perbuatan
itu sepertinya membuat kawan-kawannya marah dan langsung mengepung kami.
“Uh... bolehkah aku
menembak?” tanyaku.
“Kita belum
menemukan penawarnya. Jadi, sekarang, TEMBAK!” ucap Raka. Kami pun menembak
seperti pada game-game zombie pada umumnya. Para Sign-er tidak mau kalah,
mereka pun juga menembaki kami. Terjadilah adu tembak yang lumayan seru.
“99 persen!!!
Seratus!!!” ujar Reswara.
“Tidak ada tempat
lari untuk sekarang. Masuk ke dalam gedung!” ujar Raka. Kami pun masuk dan
mencari tempat untuk bersembunyi. “Ayo! Sembunyi dibawah sini!” Reswara memandu
kami ke ruang bawah tanah. Kami buru-buru masuk ke dalam. Terdengar langkah
kaki dan teriakan orang-orang yang panik ketakutan semakin jelas, dan jelas. Suara
adu tembak dan perlawanan polisi setempat maupun pengunjung di sana juga
terdengar sangat jelas.
“Kenapa tidak
berjalan sesuai rencana?” tanya Reswara dengan nada yang agak ditinggikan. Tiba-tiba
terdengar banyak suara ledakan di luar. Seperti suara meteor atau pesawat
jatuh. Lalu, Reswara menerima telepon.
“Atap sudah klirrr.
Tak jemput di helipad.” Itu suaranya Sultan. Tapi masalahnya, helipadnya
terletak di atap gedung ini dan para Sign-er menyerang dari dua arah yang
berbeda. Pada akhirnya mereka akan mencapai kami. Jadi kami memutuskan untuk
menyerang daripada bertahan.
Tiba-tiba, salah
satu alat milik Reswara berdering. Lalu mengeluarkan suara seperti “APA!
Pasukan kita dikalahkan semua!” “Tapi kita masih mempunyai ini”. Tiba-tiba
suaranya menjadi serak lalu terputus sambungannya.
“Sepertinya kita
mendapatkannya.” Ujar Reswara.
“Apa?”
Lalu semuanya
menjadi sunyi. Hanya tinggal suara langkah kaki misterius yang melangkah
perlahan, menyisir seluruh lorong gedung satu per satu.
“Ada yang datang!”
kata Raka.
“Kita harus
melawan!” kata Reswara.
“Mereka datang dari
berbagai arah, kita harus berpencar!” lalu kami pun berpencar. Sudah tidak
terdengar lagi suara Raka maupun Reswara. Aku berlari di sepanjang lorong
sendirian. Namun, ada yang mencegatku. Orang itu berbadan tinggi, besar,
memakai seragam satpam, dan membawa senapan api laras pendek. Ia mengacungkan
pistolnya ke arahku. Begitu pula aku, aku mengeluarkan pistolku dan langsung
menembak ke arahnya. Namun ia berhasil menghindar dan balik menembakku pada
bagian bahu kanan dan kiriku, sehingga aku tidak bisa menarik pelatuk itu lagi.
“Aku
mendapatkannya.” orang itu berbicara kepada seseorang dengan walkie-talkie.
“Bagus, bagus. Bawa
dia ke hadapanku.”
“Sedang kukerjakan.
Ganti.” Orang asing itu mengeluarkan borgolnya. Aku masih memiliki kaki yang
berfungsi. Aku menendangnya dengan keras. Lalu aku menggunakan kesempatan itu
untuk kabur. Rupanya, ia bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia mengejar dan
berkali-kali menembak. Pada ujung lorong aku berbelok lalu belok lagi, berharap
orang itu tidak bisa menemukanku. Tiba-tiba ada yang menarikku untuk merapat ke
tembok.
“Julia?”
“Shht… hihihi.” Seketika
itu juga listrik gedung padam sementara. Julia menghilang lagi. Setelah itu,
aku mendengar suara orang tersiksa. Lalu listrik gedung kembali padam. Membuatku
tidak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba kepala satpam aneh itu muncul tepat di
depanku, tergantung dengan wajah membiru. Julia tiba-tiba berdiri di sampingku.
Sontak itu membuatku terkejut seperempat mati.
“Tenang, sedikit
lagi kamu akan mencapai atap.” Aku mendengar suara langkah kaki. Semakin lama
semakin banyak dan ribut. Salah satu Sign-er muncul dari lorong yang barusan
aku lewati. Ia melihatku. Ia menggunakan speakernya
yang sangat bising untuk memberitahu Sign-er lain tentang keberadaan kami. Aku berusaha
merusak speaker itu dengan
menembaknya. Tetapi tembakanku tidak akurat.
“Permisi.” Kata Julia.
Tanpa sengaja aku berkedip, Sign-er dengan speaker itu sudah menjadi dekorasi
ruangan. Kali ini aku tidak terkejut karena aku sudah pernah melihatnya. Tetapi
tetap terlanjur sudah, terlalu banyak Sign-er yang tahu lokasi kami dan
sekarang sedang dalam perjalanan ke sini. Tiba-tiba ada sesuatu yang dilempar
dari tangga. Itu adalah sebuah bom asap! Seketika bom itu meledak dan membatasi
jarak pandangku.
“Baiklah, harus aku
akui kau cukup mahir dalam hal ini.” Aku seperti mengenal suaranya. Tapi aku
tidak ingat namanya. suara itu seperti datang dari berbagai arah.
“Siapa kau!
Tunjukkan dirimu!” Kataku.
“Kau tidak perlu
tahu siapa aku. Tapi jika engkau memaksa, baiklah.” Asap dari bom tersebut
mulai hilang dan pandangan mulai jernih. Saat itu pula aku melihat pelaku yang
sama dengan yang menjebak aku dan Raka di dalam gudang.
“KAU!”
“Bagaimana? Kaget huh?”
“Grr.” aku merasa
sangat ingin membunuhnya. Namun belum saja aku melangkah, aku sudah berada
dalam cekikan rantai baja oleh sepuluh orang Sign-er.
“Izinkan aku
memperkenalkan diriku. Namaku Ade. Senang berkenalan denganmu.” Di akhir
katanya, Ade terus menendang dan memukuliku. Selagi aku masih terbangun, aku dipaksa
melihat Julia yang pingsan akan dijatuhkan dari gedung ini melalui jendela. Hal
itu terjadi. Ia dijatuhkan dari ketinggian sekitar 900 m dari permukaan tanah.
“Tidak! Tidak! Julia!!!”
“Ya! Ya! Ya!” ujar
Ade sambil tertawa terbahak-bahak. “Kau selanjutnya.” ucapnya.
Seketika itu
tubuhku tak mampu kugerakkan. Rantai yang mencekik leherku dilepaskan. “SEKARANG,
DATANGLAH KE PAPA!” tiba-tiba tubuhku bergerak sendiri maju seperti yang
diperintahkan Ade. Aku berusaha melawan perintah itu tetapi aku benar-benar
kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Tiba-tiba terdengar suara berbisik.
“Kau tidak
sendirian. Kuatkan hatimu. Lawan sekuat tenagamu!” begitulah suara bisikan
misterius itu. Aku terus berkata kepada diriku sendiri “Aku pasti bisa! Aku
pasti bisa!”. perlahan-lahan aku mampu mengambil alih kendali atas tubuhku. Wajah
Ade yang tadinya penuh keyakinan berubah ragu.
“Lebih baik aku
ikut jatuh dari gedung ini ketimbang membantu orang seperti kau!” Ujarku. lalu
aku menjatuhkan diri menyusul Julia.
Melihat Julia yang
sudah terjatuh, aku merasakan geram dan kesal yang sangat mendalam terhadap Ade
dan gang SIGN-AI nya. Susunan molekul dalam tubuhku terasa berubah. Sebagian
kulitku mengelupas. Ototku berubah menjadi kayu. Tubuhku berubah menjadi kayu.
Tetapi, aku masih dapat menggerakkan tubuhku. Hanya aroma balas dendam yang
manis yang tercium. Kayu-kayu dalam tubuhku tumbuh memanjang dan menyusun
dirinya sendiri. Proses itu terjadi berulang-ulang hingga ukuran tubuhku
sejajar dengan gedung tersebut. Wajahku sudah tidak berbentuk lagi. Mataku
menjadi seperti mata kucing, hanya saja, memiliki 3 pupil yang berkobar. Duri-duri
kayu tumbuh di punggungku. Gigiku copot semua dan tergantikan oleh gigi taring
yang sangat tajam dari kayu. Kuku-kukuku pun menjadi lebih tajam dan juga
menjadi kayu. Astaga, aku seperti monster!