Cari Blog Ini

8.11.15

THE COGANS - Part 2

Keesokan harinya...
                “Periksa bagian kepalanya!”
                “Dia mulai stabil.”
                “Dimana aku?” gumamku dalam hati. aku perlahan-lahan membuka mataku. Silau!
                “periksa bagian lengannya!”
                “Stabil.”
                Aku menengok ke samping. Kulihat Raka tidak sadarkan diri penuh luka. AWW!!!
                “Serum sudah disuntikkan.”
                “Bawa dia ke lab operasi!”
                Tiba-tiba, aku ingat seluruh kejadian semalam. Pintu gudang tidak mau terbuka. Seperti tersegel dengan sihir. Kami dihujani ratusan anak panah api beracun. Raka menembak-tembak asal panah itu muncul. Aku berusaha melindungi Raka dengan papan kayu yang aku temukan tergeletak di depan pintu gudang. Papan tersebut tidak dapat bertahan lama. Tangan kanan Raka terkena anak panah. Aku melihat Raka yang merintih kesakitan karena kehilangan salah satu jari. Tiba-tiba lenganku tertusuk anak panah. Gudang itu pun terbakar. Lalu, semuanya menjadi gelap.
                Saat aku tersadar, aku sudah berada di ruang ICU yang steril, memakai pakaian khas pasien dengan Raka berbaring tak sadarkan diri di sampingku. Aku pun segera bangkit dari tempat tidur dan dengan setengah berlari menuju bagian informasi di lobby rumah sakit. Anehnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu aku menyalakan televisi yang terletak di bagian pojok atas lobby. Berita yang kudengar dari televisi  adalah tentang invasi dari sebuah gangster bernama “SIGN-AI” yang muncul secara tiba-tiba. Mata seluruh anggota gang itu berwarna abu-abu cerah.
 Istana negara yang diinvasi hanya selama 10 menit langsung hancur luluh. Mereka yang ketakutan akan langsung tercuci otaknya dan menjadi anggota gang tersebut. Mereka yang melawan tidak memiliki cukup kekuatan untuk bertahan. Alhasil, sang Presiden pun ikut tercuci otaknya. Para tentara terdidik dan terlatih yang menjaga tempat itu meninggal mengenaskan.
Tidak lama setelah aku menonaktifkan televisi itu, Raka tersadar dan menghampiriku.
 “Gawat! ada segerombolan tentara dan polisi yang menyerang secara membabi buta kilang minyak tak jauh dari sini!” kata Raka. Kami dapat melihatnya dengan jelas melalui jendela. Hanya dalam beberapa menit, tempat itu sudah dapat dikuasai oleh mereka dan jumlah mereka bertambah banyak seiring dengan banyaknya orang yang dicuci otaknya.
Tiba-tiba mereka berubah arah menuju rumah sakit ini.
“Uhh... Raka?”
“Ini bukan pertanda baik” Aku dan Raka langsung tergesa-gesa untuk mencari pintu keluar.
“Pintu utama terkunci! Aku akan mencari jalan keluar yang lain” Ujar Raka.
Saat sedang mencari, aku menengok sejenak kamar mayat 01. Banyak mayat yang telah diotopsi plus data hasil otopsinya. Tiba-tiba, aku melihat mayat anak-anakku terbaring kaku di kasur rumah sakit. Kulit dan mata mereka berubah menjadi abu-abu. Aku tidak dapat menahan tangis. Beberapa saat kemudian, Raka menghampiriku.
“Ada jalan keluar, melewati basement”
“Habis sudah hidupku. Tak lagi bersisa” Kataku sambil meneteskan air mata.
“Sudahlah... ikhlaskan saja... kita punya urusan yang lebih penting. Kita akan membalas pembunuhnya suatu saat nanti“ Kata Raka menenangkanku.
Tiba-tiba gedung rumah sakit bergoyang seperti gempa.
“Mereka sudah tiba. AYO!” Ujar Raka menarikku menuju basement. Lalu kabur tanpa ketahuan lewat jendela basement. Saat aku menengok ke belakang, gedung itu sudah roboh rata dengan tanah.
THE COGANS
Sudah terlalu banyak alasan untuk frustasi. Aku diceraikan istri, dipecat dari pekerjaan, anak-anakku diculik, dunia diambil alih gangster kejam. AARGH!!! Serasa hampir mati. Tetapi sekarang aku masih hidup karena aku masih memiliki sahabat.
Beberapa bulan kami terus bersembunyi. Gerakan-gerakan perlawanan banyak muncul di sana sini. Gangster itu membangun ulang peradaban mereka sendiri. Mereka membuat sebuah istana megah yang dijaga ketat dan dilindungi oleh semacam pelindung tak terlihat. Hampir tidak mungkin untuk mengalahkan mereka.
“Kita tidak bisa bersembunyi terus, kita harus melakukan sesuatu!” Kataku kepada Raka dan Edsa.
“Jangan seperti itu Bagus... apa kau tidak tahu apa yang terjadi di luar sana?” respon Raka terhadapku.
“Mungkin dengan sedikit penyamaran kita dapat jalan-jalan?” usul Edsa.
“Itu bisa dicoba” jawab Raka. Lalu kami berdandan hingga mirip seperti anggota gangster “SIGN-AI”.
Kami pun memberanikan diri keluar tempat persembunyian. Kami berjalan dengan hati-hati dan mencoba untuk tidak takut. Karena jika terdapat rasa takut sedikit saja, maka akan dapat terdeteksi indra ke-8 mereka.
Wajah mereka yang terlihat beku dan jumlah mereka yang tidak sedikit membuat Edsa sedikit takut. Alhasil, kami dikejar-kejar oleh mereka yang sudah dipaksa maupun tidak dipaksa untuk bergabung dengan gangster “SIGN-AI”. Karena Edsa lelah berlari, Raka menggendong Edsa. Sementara itu aku berlari ke arah yang berlawanan dengan Raka.
Setelah beberapa menit, mereka tidak lagi mengejarku. Tetapi aku juga tidak tahu dimana Raka dan Edsa berada. Ketika aku sedang berjalan-jalan untuk menghilangkan depresi, aku melihat seorang gadis cantik nan imut sedang dikepung oleh beberapa Sign-er, sebutan umum untuk tentara “SIGN-AI”. Aku ingin menolongnya. Tetapi, ketika aku berkedip, para Sign-er tersebut telah menjadi mayat. Spontan, aku terkejut dan takut. Gadis itu memandangiku, lalu berjalan mendekatiku. Ia menyapaku seakan-akan tidak memiliki rasa bersalah. Aku pun memberanikan diri untuk memperkenalkan diriku.
“Uh... hai, aku Bagus.”
“Aku Julia, senang bertemu denganmu.”
Terlihat banyak Sign-er lain berdatangan. Kami pun melawan mereka semua dengan perbandingan 2 : 21. Aku mengeluarkan tongkatku, mengikat pisauku di ujungnya. Dan jadilah tombak. Tiba-tiba, dua orang Sign-er memegangi tanganku. Satu orang lagi membawa pisau kurban yang tidak pernah dicuci. Orang itu melawanku dengan brutal, tidak terkendali, atau ia sedang dikendalikan? Aku tidak tahu. Aku hanya berusaha menghindar sehingga yang terluka hanyalah orang yang memegangi tanganku. Aku menangkis pisau orang itu dengan kaki sehingga serangannya mengenai kepalanya sendiri. Lalu, mereka yang masih hidup melarikan diri. Aku mengarahkan pandanganku ke arah Julia yang sedang duduk di atas menara yang terbuat dari mayat.
“Bagaimana kau bisa naik ke atas sana?”
“Ya bisa dong.”
Kami sedang berbincang-bincang supaya lebih saling mengenal. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari kilang minyak yang sekarang menjadi markas Sign cabang harbor. Hari sudah mulai gelap. Kami memandangi sunset yang indah.
“Terlihat lebih indah dari atas sini.” Kata Julia. Tiba-tiba, sebuah helikopter melewati kami dan Raka jatuh dari dalamnya tanpa alat pengaman apa pun. Raka jatuh menimpa menara dari tumpukan mayat sehingga menara itu roboh.
“Raka, Julia, Edsa, kalian tidak apa-apa?” tanyaku khawatir.
“Lagi lagi lagi!” kata Julia.
“...” Raka diam tak bersuara.
“Raka, ada apa?” tanyaku makin penasaran.
“...” Raka masih diam.

“Dimana Edsa?”