Keesokan harinya...
“Periksa bagian kepalanya!”
“Dia mulai stabil.”
“Dimana aku?” gumamku dalam
hati. aku perlahan-lahan membuka mataku. Silau!
“periksa bagian lengannya!”
“Stabil.”
Aku menengok ke samping. Kulihat
Raka tidak sadarkan diri penuh luka. AWW!!!
“Serum sudah disuntikkan.”
“Bawa dia ke lab operasi!”
Tiba-tiba, aku ingat seluruh
kejadian semalam. Pintu gudang tidak mau terbuka. Seperti tersegel dengan
sihir. Kami dihujani ratusan anak panah api beracun. Raka menembak-tembak asal
panah itu muncul. Aku berusaha melindungi Raka dengan papan kayu yang aku
temukan tergeletak di depan pintu gudang. Papan tersebut tidak dapat bertahan
lama. Tangan kanan Raka terkena anak panah. Aku melihat Raka yang merintih
kesakitan karena kehilangan salah satu jari. Tiba-tiba lenganku tertusuk anak
panah. Gudang itu pun terbakar. Lalu, semuanya menjadi gelap.
Saat aku tersadar, aku sudah
berada di ruang ICU yang steril, memakai pakaian khas pasien dengan Raka
berbaring tak sadarkan diri di sampingku. Aku pun segera bangkit dari tempat
tidur dan dengan setengah berlari menuju bagian informasi di lobby rumah sakit.
Anehnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu aku menyalakan televisi yang
terletak di bagian pojok atas lobby. Berita yang kudengar dari televisi adalah tentang invasi dari sebuah gangster
bernama “SIGN-AI” yang muncul secara tiba-tiba. Mata seluruh anggota gang itu
berwarna abu-abu cerah.
Istana negara yang diinvasi hanya
selama 10 menit langsung hancur luluh. Mereka yang ketakutan akan langsung
tercuci otaknya dan menjadi anggota gang tersebut. Mereka yang melawan tidak
memiliki cukup kekuatan untuk bertahan. Alhasil, sang Presiden pun ikut tercuci
otaknya. Para tentara terdidik dan terlatih yang menjaga tempat itu meninggal
mengenaskan.
Tidak lama setelah aku menonaktifkan televisi itu, Raka tersadar dan
menghampiriku.
“Gawat! ada segerombolan tentara
dan polisi yang menyerang secara membabi buta kilang minyak tak jauh dari
sini!” kata Raka. Kami dapat melihatnya dengan jelas melalui jendela. Hanya
dalam beberapa menit, tempat itu sudah dapat dikuasai oleh mereka dan jumlah
mereka bertambah banyak seiring dengan banyaknya orang yang dicuci otaknya.
Tiba-tiba mereka berubah arah menuju rumah sakit ini.
“Uhh... Raka?”
“Ini bukan pertanda baik” Aku dan Raka langsung tergesa-gesa untuk
mencari pintu keluar.
“Pintu utama terkunci! Aku akan mencari jalan keluar yang lain” Ujar
Raka.
Saat sedang mencari, aku menengok sejenak kamar mayat 01. Banyak mayat
yang telah diotopsi plus data hasil otopsinya. Tiba-tiba, aku melihat mayat
anak-anakku terbaring kaku di kasur rumah sakit. Kulit dan mata mereka berubah
menjadi abu-abu. Aku tidak dapat menahan tangis. Beberapa saat kemudian, Raka
menghampiriku.
“Ada jalan keluar, melewati basement”
“Habis sudah hidupku. Tak lagi bersisa” Kataku sambil meneteskan air
mata.
“Sudahlah... ikhlaskan saja... kita punya urusan yang lebih penting.
Kita akan membalas pembunuhnya suatu saat nanti“ Kata Raka menenangkanku.
Tiba-tiba gedung rumah sakit bergoyang seperti gempa.
“Mereka sudah tiba. AYO!” Ujar Raka menarikku menuju basement. Lalu
kabur tanpa ketahuan lewat jendela basement. Saat aku menengok ke belakang, gedung
itu sudah roboh rata dengan tanah.
THE COGANS
Sudah terlalu banyak alasan untuk frustasi. Aku diceraikan istri,
dipecat dari pekerjaan, anak-anakku diculik, dunia diambil alih gangster kejam.
AARGH!!! Serasa hampir mati. Tetapi sekarang aku masih hidup karena aku masih
memiliki sahabat.
Beberapa bulan kami terus bersembunyi. Gerakan-gerakan perlawanan banyak
muncul di sana sini. Gangster itu membangun ulang peradaban mereka sendiri. Mereka
membuat sebuah istana megah yang dijaga ketat dan dilindungi oleh semacam
pelindung tak terlihat. Hampir tidak mungkin untuk mengalahkan mereka.
“Kita tidak bisa bersembunyi terus, kita harus melakukan sesuatu!”
Kataku kepada Raka dan Edsa.
“Jangan seperti itu Bagus... apa kau tidak tahu apa yang terjadi di luar
sana?” respon Raka terhadapku.
“Mungkin dengan sedikit penyamaran kita dapat jalan-jalan?” usul Edsa.
“Itu bisa dicoba” jawab Raka. Lalu kami berdandan hingga mirip seperti
anggota gangster “SIGN-AI”.
Kami pun memberanikan diri keluar tempat persembunyian. Kami berjalan
dengan hati-hati dan mencoba untuk tidak takut. Karena jika terdapat rasa takut
sedikit saja, maka akan dapat terdeteksi indra ke-8 mereka.
Wajah mereka yang terlihat beku dan jumlah mereka yang tidak sedikit
membuat Edsa sedikit takut. Alhasil, kami dikejar-kejar oleh mereka yang sudah
dipaksa maupun tidak dipaksa untuk bergabung dengan gangster “SIGN-AI”. Karena
Edsa lelah berlari, Raka menggendong Edsa. Sementara itu aku berlari ke arah
yang berlawanan dengan Raka.
Setelah beberapa menit, mereka tidak lagi mengejarku. Tetapi aku juga
tidak tahu dimana Raka dan Edsa berada. Ketika aku sedang berjalan-jalan untuk
menghilangkan depresi, aku melihat seorang gadis cantik nan imut sedang
dikepung oleh beberapa Sign-er, sebutan umum untuk tentara “SIGN-AI”. Aku ingin
menolongnya. Tetapi, ketika aku berkedip, para Sign-er tersebut telah menjadi
mayat. Spontan, aku terkejut dan takut. Gadis itu memandangiku, lalu berjalan
mendekatiku. Ia menyapaku seakan-akan tidak memiliki rasa bersalah. Aku pun
memberanikan diri untuk memperkenalkan diriku.
“Uh... hai, aku Bagus.”
“Aku Julia, senang bertemu denganmu.”
Terlihat banyak Sign-er lain berdatangan. Kami pun melawan mereka semua
dengan perbandingan 2 : 21. Aku mengeluarkan tongkatku, mengikat pisauku di
ujungnya. Dan jadilah tombak. Tiba-tiba, dua orang Sign-er memegangi tanganku. Satu
orang lagi membawa pisau kurban yang tidak pernah dicuci. Orang itu melawanku
dengan brutal, tidak terkendali, atau ia sedang dikendalikan? Aku tidak tahu. Aku
hanya berusaha menghindar sehingga yang terluka hanyalah orang yang memegangi
tanganku. Aku menangkis pisau orang itu dengan kaki sehingga serangannya
mengenai kepalanya sendiri. Lalu, mereka yang masih hidup melarikan diri. Aku mengarahkan
pandanganku ke arah Julia yang sedang duduk di atas menara yang terbuat dari
mayat.
“Bagaimana kau bisa naik ke atas sana?”
“Ya bisa dong.”
Kami sedang berbincang-bincang supaya lebih saling mengenal. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari kilang minyak yang sekarang
menjadi markas Sign cabang harbor. Hari sudah mulai gelap. Kami memandangi
sunset yang indah.
“Terlihat lebih indah dari atas sini.” Kata Julia. Tiba-tiba, sebuah
helikopter melewati kami dan Raka jatuh dari dalamnya tanpa alat pengaman apa
pun. Raka jatuh menimpa menara dari tumpukan mayat sehingga menara itu roboh.
“Raka, Julia, Edsa, kalian tidak apa-apa?” tanyaku khawatir.
“Lagi lagi lagi!” kata Julia.
“...” Raka diam tak bersuara.
“Raka, ada apa?” tanyaku makin penasaran.
“...” Raka masih diam.
“Dimana Edsa?”