Kami
terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Kami menyerang balik! Tetapi, pasukan
gerilya dan polisi bayaran menang jumlah. Aku berusaha mencari celah untuk
melarikan diri dan menelepon Duta untuk bala bantuan. Tidak! Mereka telah
menutup hampir semua celah. Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya disertai suara
tembakan dari kejauhan. Lalu, aku terjatuh dan tidak sadarkan diri. Yang
terakhir kulihat adalah mayat-mayat teman-temanku bergelimpangan dimana-mana. Setelah
itu, aku tidak ingat apa-apa...
Musim
panas tahun ini, aku berencana pergi berpiknik bersama anak dan istriku. Tujuan
kali ini adalah pantai Harbor yang terkenal dengan suasananya yang menyejukkan.
Anak-anak setuju untuk berangkat pada keesokan harinya. Kami pun segera
tidur...
“Sarapan
sudah siap!” teriakku pada keesokan harinya. Anak-anak segera bangkit dari
tempat tidurnya dengan semangat. Mereka langsung mengambil jatah makan
masing-masing. Tetapi aku melarang mereka.
“Eits!
Cuci muka dulu... “ mereka pun segera melaksanakannya lalu segera makan. Hari
ini aku sengaja bangun lebih awal daripada biasanya supaya dapat menyiapkan
perbekalan bagi anak dan istriku. Aku juga memasak lebih banyak daripada
biasanya.
Matahari
sudah mulai meninggi. Istriku belum juga bangun. Aku akhirnya harus
membangunkannya. Setelah semua siap, kami pun berangkat. Suatu kebetulan!
Ternyata sahabat karibku, Raka, juga sedang berpiknik di pantai Harbor. Aku pun
segera menghampirinya dan menggelar tikar milikku di sampingnya. Ia juga
mengajak istrinya, Edsa. Dengan begini piknik menjadi lebih seru!
“Kamu
tidak buruk juga dalam memanfaatkan cuti.” Kataku.
“Nah,
berarti kamu juga dong hahaha!” jawab Raka.
Belum
lama bercakap-cakap, tiba-tiba seseorang berjas hitam menghampiriku. Ia
bertanya tentang tragedi pembantaian massal yang terjadi sekitar 10 tahun. Aku
menjawab tidak tahu. Lalu ia membuka identitasnya. Ia adalah seorang detektif!
“Anda Bagus Suryanti?” tanya
sang detetif yang namanya dirahasiakan itu.
“Suryanto” jawabku.
“Dan
anda tuan Gatot?”
“Raka!
Bahkan tidak ada kata gatot di dalam namaku!”
“Baik,
kalian semua ikut saya!”
Kami
dipaksa menuju sebuah kantor di pinggiran kota. Kami diinterogasi di dalam
ruangan yang terpisah. Kami diberi beberapa pertanyaan tentang misteri
pembantaian massal yang terjadi sekitar 10 tahun lalu. Aku terus menjawab tidak
tahu karena memang tidak tahu. Tetapi mereka mempunyai sesuatu yang membuatku
tidak bisa berkutik. Mereka mempunyai foto para korban dari pembantaian
tersebut. Dan aku terdapati di dalam foto itu sebagai korban meninggal.
Setiap
malam setelah melihat foto itu, aku selalu memikirkan foto itu. Setiap
malamnya, aku selalu mendapat mimpi buruk. Ah, mungkin foto itu telah
dipaslukan. Aku memilih berkonsultasi dengan teman-temanku.
“Santai
saja, tidak usah dipikirkan.”
“Mungkin
mereka hanya ingin menjatuhkanmu.”
“Tapi
juga ada kemungkinan bahwa foto itu benar adanya.”
“Hmm...
entahlah, aku ingin melupakannya, tetapi itu terus bergema di kepalaku.”
Ujarku.
“Oh,
mungkin dengan sedikit membaca akan terasa lebih baik." Lalu ia
menyodorkan sebuah koran yang sangat tua kepadaku. Lau aku membaca salah satu
judul wacana yang tertulis di dalam koran tersebut. Judulnya adalah “Semua
Tersangka Sudah di Eksekusi. Satu tersangka kabur. Satu korban belum ditemukan.
“
“Apa
kau bercanda?”
Sudah
beberapa bulan sejak hari itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan kebenaran
dari foto tersebut. Itu membuatku depresi berlebihan sehingga aku tidak bisa
bekerja dengan baik. Pekerjaanku sebagai editor sangat kacau. Perusahaanku
bangkrut. Aku kena PHK. Sungguh sial nasibku.
Aku
dan keluargaku pun berpindah-pindah rumah. Rumah kontrakan dan barang-barang
digadaikan hingga habis. Beberapa bulan sudah kehidupan kami seperti itu.
Hingga istriku tidak tahan lagi. Ia marah-marah karena tidak dinafkahi. Ia pun
meminta cerai saat itu juga. Aku berusaha membujuknya supaya ia tenang. Tetapi
ia tetap ingin cerai. Ia pun pergi saat itu juga. Tiba-tiba ia terlindas sebuah
truk tronton curian yang melaju cepat. Aku tidak sanggup melihat jasadnya yang
terpecah belah dan hancur lebur terlindas roda truk yang besar. Namun, setelah
aku membuka mata, anak-anakku sudah hilang entah ke mana perginya. Tiba-tiba,
terdengar tangisan kecil dari arah berlawanan. Aku melihat dan mengejar
anak-anakku yang disekap di dalam mobil. Aku mengambil sepeda polisi yang
terparkir di pinggir jalan untuk mengejar mobil itu. Di tengah jalan, aku
bertemu Raka dan Edsa sedang berkeliling kota dengan mengendarai mobil. Aku pun
berhenti sebentar untuk meminta tolong.
“Raka!
Edsa! Tolong aku, anak-anakku diculik!!!” Kataku meminta tolong
“APA!!!
Ayo cepat! Naik ke mobilku!”
Aku
pun meninggalkan sepeda polisi di pinggir jalan dan menumpang ke mobilnya Raka.
Kami mengejar penculik itu dengan mengikuti jejak mobil mereka. Jejak mobil itu
menuntun kami ke sebuah gudang tua yang kosong. Aku dan Raka pun memberanikan
diri untuk memasuki gudang itu. Raka membawa pistol DesertEagle dengan peluru
terisi setengahnya. Suara pintu gerbangnya membuat aku merinding, tetapi Raka
tidak. Kami berlari menuju mobil yang digunakan untuk menculik yang terparkir
di depan pintu gudang yang sedikit terbuka. Kami melihat ke dalam mobil melalui
jendela mobil. Mobil itu kosong. Kami membuka secara perlahan pintu gudang.
Kami tidak melihat apa-apa. Lalu kami pun masuk. Tiba-tiba, pintu gudang
terkunci.
“Ini
jebakan!”
“Hahaha,
ingat aku? Sebaiknya kau bergabung denganku atau kau akan menyesalinya!” kata
suara misterius.
“Siapa
kau?”