Cari Blog Ini

27.10.15

THE COGANS - Part 1

                Kami terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Kami menyerang balik! Tetapi, pasukan gerilya dan polisi bayaran menang jumlah. Aku berusaha mencari celah untuk melarikan diri dan menelepon Duta untuk bala bantuan. Tidak! Mereka telah menutup hampir semua celah. Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya disertai suara tembakan dari kejauhan. Lalu, aku terjatuh dan tidak sadarkan diri. Yang terakhir kulihat adalah mayat-mayat teman-temanku bergelimpangan dimana-mana. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa...
                Musim panas tahun ini, aku berencana pergi berpiknik bersama anak dan istriku. Tujuan kali ini adalah pantai Harbor yang terkenal dengan suasananya yang menyejukkan. Anak-anak setuju untuk berangkat pada keesokan harinya. Kami pun segera tidur...
                “Sarapan sudah siap!” teriakku pada keesokan harinya. Anak-anak segera bangkit dari tempat tidurnya dengan semangat. Mereka langsung mengambil jatah makan masing-masing. Tetapi aku melarang mereka.
                “Eits! Cuci muka dulu... “ mereka pun segera melaksanakannya lalu segera makan. Hari ini aku sengaja bangun lebih awal daripada biasanya supaya dapat menyiapkan perbekalan bagi anak dan istriku. Aku juga memasak lebih banyak daripada biasanya.
                Matahari sudah mulai meninggi. Istriku belum juga bangun. Aku akhirnya harus membangunkannya. Setelah semua siap, kami pun berangkat. Suatu kebetulan! Ternyata sahabat karibku, Raka, juga sedang berpiknik di pantai Harbor. Aku pun segera menghampirinya dan menggelar tikar milikku di sampingnya. Ia juga mengajak istrinya, Edsa. Dengan begini piknik menjadi lebih seru!
                “Kamu tidak buruk juga dalam memanfaatkan cuti.” Kataku.
                “Nah, berarti kamu juga dong hahaha!” jawab Raka.
                Belum lama bercakap-cakap, tiba-tiba seseorang berjas hitam menghampiriku. Ia bertanya tentang tragedi pembantaian massal yang terjadi sekitar 10 tahun. Aku menjawab tidak tahu. Lalu ia membuka identitasnya. Ia adalah seorang detektif!
                “Anda Bagus Suryanti?” tanya sang detetif yang namanya dirahasiakan itu.
                “Suryanto” jawabku.
                “Dan anda tuan Gatot?”
                “Raka! Bahkan tidak ada kata gatot di dalam namaku!”
                “Baik, kalian semua ikut saya!”
                Kami dipaksa menuju sebuah kantor di pinggiran kota. Kami diinterogasi di dalam ruangan yang terpisah. Kami diberi beberapa pertanyaan tentang misteri pembantaian massal yang terjadi sekitar 10 tahun lalu. Aku terus menjawab tidak tahu karena memang tidak tahu. Tetapi mereka mempunyai sesuatu yang membuatku tidak bisa berkutik. Mereka mempunyai foto para korban dari pembantaian tersebut. Dan aku terdapati di dalam foto itu sebagai korban meninggal.
                Setiap malam setelah melihat foto itu, aku selalu memikirkan foto itu. Setiap malamnya, aku selalu mendapat mimpi buruk. Ah, mungkin foto itu telah dipaslukan. Aku memilih berkonsultasi dengan teman-temanku.
                “Santai saja, tidak usah dipikirkan.”
                “Mungkin mereka  hanya ingin menjatuhkanmu.”
                “Tapi juga ada kemungkinan bahwa foto itu benar adanya.”
                “Hmm... entahlah, aku ingin melupakannya, tetapi itu terus bergema di kepalaku.” Ujarku.
                “Oh, mungkin dengan sedikit membaca akan terasa lebih baik." Lalu ia menyodorkan sebuah koran yang sangat tua kepadaku. Lau aku membaca salah satu judul wacana yang tertulis di dalam koran tersebut. Judulnya adalah “Semua Tersangka Sudah di Eksekusi. Satu tersangka kabur. Satu korban belum ditemukan. “
                “Apa kau bercanda?”
                Sudah beberapa bulan sejak hari itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan kebenaran dari foto tersebut. Itu membuatku depresi berlebihan sehingga aku tidak bisa bekerja dengan baik. Pekerjaanku sebagai editor sangat kacau. Perusahaanku bangkrut. Aku kena PHK. Sungguh sial nasibku.
                Aku dan keluargaku pun berpindah-pindah rumah. Rumah kontrakan dan barang-barang digadaikan hingga habis. Beberapa bulan sudah kehidupan kami seperti itu. Hingga istriku tidak tahan lagi. Ia marah-marah karena tidak dinafkahi. Ia pun meminta cerai saat itu juga. Aku berusaha membujuknya supaya ia tenang. Tetapi ia tetap ingin cerai. Ia pun pergi saat itu juga. Tiba-tiba ia terlindas sebuah truk tronton curian yang melaju cepat. Aku tidak sanggup melihat jasadnya yang terpecah belah dan hancur lebur terlindas roda truk yang besar. Namun, setelah aku membuka mata, anak-anakku sudah hilang entah ke mana perginya. Tiba-tiba, terdengar tangisan kecil dari arah berlawanan. Aku melihat dan mengejar anak-anakku yang disekap di dalam mobil. Aku mengambil sepeda polisi yang terparkir di pinggir jalan untuk mengejar mobil itu. Di tengah jalan, aku bertemu Raka dan Edsa sedang berkeliling kota dengan mengendarai mobil. Aku pun berhenti sebentar untuk meminta tolong.
                “Raka! Edsa! Tolong aku, anak-anakku diculik!!!” Kataku meminta tolong
                “APA!!! Ayo cepat! Naik ke mobilku!”
                Aku pun meninggalkan sepeda polisi di pinggir jalan dan menumpang ke mobilnya Raka. Kami mengejar penculik itu dengan mengikuti jejak mobil mereka. Jejak mobil itu menuntun kami ke sebuah gudang tua yang kosong. Aku dan Raka pun memberanikan diri untuk memasuki gudang itu. Raka membawa pistol DesertEagle dengan peluru terisi setengahnya. Suara pintu gerbangnya membuat aku merinding, tetapi Raka tidak. Kami berlari menuju mobil yang digunakan untuk menculik yang terparkir di depan pintu gudang yang sedikit terbuka. Kami melihat ke dalam mobil melalui jendela mobil. Mobil itu kosong. Kami membuka secara perlahan pintu gudang. Kami tidak melihat apa-apa. Lalu kami pun masuk. Tiba-tiba, pintu gudang terkunci.
                “Ini jebakan!”
                “Hahaha, ingat aku? Sebaiknya kau bergabung denganku atau kau akan menyesalinya!” kata suara misterius.

                “Siapa kau?”